Day 01: Kehilangan Separuh

97 12 1
                                    

Pagi ini, aku dibangunkan oleh seruan panik yang tiba-tiba mengejutkan seisi rumah. Seperti biasa, aku tidak paham apa yang mereka katakan sebenarnya, aku hanya duduk dan diam, mengamati raut muka orang-orang di rumah yang panik dan khawatir menjadi satu.

Aku belum makan, wanita paruh baya itu belum memberiku makan setelah—seperti biasa—aku mengikuti setiap langkahnya hanya demi sepotong makanan. Wanita itu masih sibuk, dia akan marah jika aku terus mengikuti dan meminta makanan padanya.

Baiklah, tak apa. Aku akan diam dan menunggu.

Aku percaya hari ini akan berlalu tidak jauh berbeda daripada sebelumnya. Aku akan tidur, membersihkan diriku, sesekali berkeliling barangkali ada hal menarik di luar sana.

Tapi, sungguh, kurasa hari ini tidak akan sama seperti sebelumnya.

Lihat saja, seruan wanita paruh baya itu tidak ada henti-hentinya. Menyebutkan nama dari temanku—sejujurnya aku tidak tahu harus menganggapnya teman, kakak, atau hanya sebatas rekan berbagi makanan, satu hal yang kutahu adalah dia jelas tertarik padaku—seolah ia sedang dalam bahaya.

Tunggu, apa benar ia dalam keadaan bahaya?

Diam-diam aku mulai dipenuhi kekhawatiran, temanku itu selalu berpetualang setiap malam, beberapa kali juga sempat terlibat perkelahian, tapi dia payah, dia selalu kembali dalam keadaan kalah.

Apakah ia baru saja berkelahi lagi?

Ah, sungguh. Aku merutuki orang-orang di rumah ini yang berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti.

Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa duduk dan diam memandangi wanita itu berjalan menghampiri dan kemudian menghela napas lelah. Tak lama, seorang gadis pun keluar dari kamarnya—ia baru saja bangun, wajahnya juga sama khawatirnya dengan wanita paruh baya.

Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan mengamati mereka yang tengah berbincang. Jelas mereka sedang membicarakan temanku.

"Piti." Wanita itu memanggil namaku, aku yang sedang berbaring pun menoleh, netra bulatku memandang wajahnya. Wanita itu kemudian lanjut berbicara, seolah menanyakan sesuatu, menanyakan tentang temanku.

Aku tidak tahu.

Aku tidak paham.

Mereka semakin membuatku merasa gelisah. Aku hanya bisa mengalihkan pandangannya dengan pikiran yang berkecamuk.

Apa ada sesuatu terjadi pada temanku? Apa ia kembali jatuh sakit? Apa ia pulang dalam keadaan terluka dan penuh darah seperti saat itu?

Apa yang terjadi padanya?

Aku khawatir. Kekhawatiran itu membuat tubuhku bergerak gelisah, beberapa kali aku membersihkan diriku, tapi tetap tidak berhasil membuatku tenang.

Sial, dia pasti akan senang ketika tahu bahwa aku sekhawatir itu padanya. Dia pasti akan terus membuntutiku untuk terus mengolok-olok. Aku yakin sekali, dia akan sesenang itu ketika tahu bahwa aku cukup peduli padanya.

Aku memang peduli padanya, tetapi akhir-akhir ini keadaan membuat hubunganku dengannya cukup tidak nyaman. Seperti yang sudah kubilang, dia menunjukkan ketertarikan padaku.

Itu menggangguku.

Setelahnya, rumah pun kembali hening. Wanita paruh baya itu kembali memasuki kamarnya setelah sibuk berkutat di dapur. Sedangkan si gadis justru terisak di dalam kamarnya.

Tunggu, apa? Terisak?

Aku membulatkan mataku ketika telingaku berhasil mendengar suara isakan pelan dari arah salah satu kamar. Aku penasaran, kenapa ia menangis?

Are You Healed, Or Just Distracted?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang