Day 10: Zaman Kekacauan

24 5 3
                                    

Pada zaman kekacauan, atau lebih umum dikenal sebagai Haotis Rioda. Auduma saat itu sungguh dipenuhi oleh kejahatan. Tak ada tempat yang aman, bahkan Violetta yang berdiri kokoh menjadi barisan pegunungan, rasanya enggan untuk terus menetap di tanah itu.

Kala itu Auduma sungguh terpuruk.

Sejarah itu juga adalah masa terkelam bagi para Ishvela.

Jika di masa sekarang, Ishvela dianggap sebagai orang-orang terpilih, dengan kemampuan khusus mereka yang jelas tidak bisa dimiliki oleh manusia biasa, kala itu Ishvela justru menjadi penyebab kekacauan.

Haotis Rioda terjadi oleh sebab pernyataan radikal seorang Ishvela yang juga menjadi provokator bagi mereka-mereka yang berkemampuan, untuk enggan disamaratakan dengan manusia-manusia biasa.

Masa kekacauan disebabkan oleh mereka yang terpilih, bukan oleh Nolatds yang dipandang hina, sebab kala itu mereka belum ada.

Hanya ada Ishvela dan manusia biasa.

Idra Wellis. Dia bukan orang penting, namanya tidak pernah tercatat dalam sejarah. Ia hanya pria biasa, manusia tanpa kemampuan. Salah satu dari banyaknya saksi yang mengalami Haotis Rioda.

Idra tumbuh di paruh akhir masa kekacauan, yang mana itu berarti Idra juga menjadi saksi dari kemunculan manusia-manusia suci dari bintang.

Kala itu malam hari. Idra dengan luka lebam yang memenuhi badannya sebab Tuan Tanah yang merupakan seorang Ishvela selalu menyiksanya berkali-kali apabila kesal. Idra malam itu hanya berdoa bahwa Auduma bisa diselamatkan dari seluruh kekacauan.

Bahwa masa-masa kegelapan ini bisa berlalu. Bahwa perbudakan, separatis antara sesama manusia, kriminalitas, penyiksaan, dan seluruh hal tidak manusiawi yang menodai tanah Auduma yang masih mengambang di permukaan laut setidaknya bisa berhenti.

Sebab jika tidak, Idra tidak yakin bahwa negeri ini bisa bertahan. Barangkali kekacauan ini adalah kiamat tersendiri untuk Dataran Auduma sebelum akhirnya tenggelam dan hancur, dan berakhir hanya untuk dikenang.

Malam itu, ketika Idra selesai merapalkan doanya. Lelaki itu dengan jelas melihat bagaimana langit tiba-tiba tampak terang benderang. Matahari seolah terbit, tetapi malam masih terlalu larut untuk mendapatkan mentari.

Belum pagi hari.

Idra keluar dari rumah kecilnya, mendongak ke arah langit. Hal yang sama oleh para manusia lainnya, baik Ishvela ataupun bukan, mereka semua keluar rumah dan mendongak menatap langit.

Langit yang semula hitam, tanpa ada bulan atau gemerlap bintang yang bergelantungan, tiba-tiba disinari cahaya serupa siang hari, adalah hal yang amat tidak biasa.

Dalam benak Idra, mungkin inilah kiamat yang mendatangi Auduma. Ia merasa sedikit bersenang hati, sebab mungkin esok hari ia tidak perlu lagi bekerja susah payah hanya untuk berbalaskan penyiksaan dari tuannya.

Jika kiamat sungguh mendatangi Auduma, setidaknya Idra tidak perlu merasakan rasa sakit dan pegal di tubuhnya lagi.

Tetapi Auduma masih jauh dari kehancuran. Dunia masih harus bertahan dalam waktu yang lama. Tidak peduli serapuh apapun tanah yang kini Idra pijak, atau segoyah apapun dataran di mana Idra hidup.

Auduma tetap harus berdiri, dalam waktu yang masih panjang, Auduma mesti bertahan.

Maka, malam itu tak ada lagi yang Idra ingat. Sebab semua orang tiba-tiba terlelap, kecuali mereka yang hidup di dalam Istana Kerajaan.

Tak ada yang tahu pasti tentang apa yang terjadi malam itu. Apa yang dilakukan tamu-tamu asing dari tempat antah berantah yang tiba-tiba mengirimi hadiah.

Hanya Raja kala itu yang tidak terlelap—dan barangkali beberapa anak buah dan ajudannya, mereka yang dipercaya di dalam istana—yang tahu secara rinci apa yang terjadi malam itu.

Tetap dalam heningnya malam itu ketika seluruh manusia terlelap, dan kehilangan ingatannya. Idra justru terbangun dengan ingatan jelas tentang bagaimana kehidupannya yang sebelumnya.

Sebab mereka yang bertamu mendatangi Auduma hanya mampu menghapus ingatan, mengubah beberapa hal besar, atau barangkali melakukan sihir yang lebih kuat daripada seluruh Ishvela yang ada di Auduma. Tapi mereka tidak mampu menghilangkan satu demi satu bekas luka dari orang-orang yang dijadikan samsak keegoisan manusia yang menginjakkan kaki di dataran ini.

Idra terbangun dengan lebam dan memar yang tidak berubah, begitupun ingatannya, begitupun pandangan terakhirnya tentang langit yang bersinar terang.

Riuh ricuh masyarakat kemudian terdengar begitu menghebohkan. Tak ada yang mengingat tentang bagaimana mereka mendapatkan penyiksaan kemarin. Semuanya hanya tahu bahwa Auduma telah mendapatkan pengampunan, seseorang telah datang menyelamatkan dataran ini.

Hanya Idra yang mungkin mengingatnya, hanya Idra rakyat jelata yang mungkin mengingatnya.

Hingga pada sebuah pelabuhan di bagian tenggara Auduma, yang berbatasan langsung dengan samudera lepas, Laut Wildom. Idra bertemu dengan sekelompok orang-orang dengan penampilan yang berbeda—beberapa dari mereka tidak terlihat berasal dari Auduma. Gaya bicara mereka pun berbeda. Bahkan meskipun bahasa yang mereka gunakan serupa, Idra bisa sadar bahwa mereka jelas bukan orang Auduma.

Idra tengah mengangkut beberapa barang untuk diantarkan pada seorang saudagar, ketika ia lalu tak sengaja melewati rombongan tersebut dan mendengar perbincangan salah satu di antaranya.

"Aku akan mengabdikan diriku. Jika itu adalah hukuman yang bisa kulakukan. Biarlah aku tidak kembali, untuk menebus pengkhianataku."

Ucapan itu membuat Idra tak sengaja melirik ke arah perempuan yang berkata demikian, dan tak sengaja pula langsung bertemu pandang dengannya.

"Kau akan mendapatkan hukumanmu ketika kita sudah kembali. Jangan berharap kami akan melepaskanmu semudah itu, Lyra."

Setelahnya, tak ada lagi yang bisa Idra dengar, sebab lelaki itu telah berjalan melewati mereka, tentu tidak mungkin Idra menghentikan langkahnya hanya demi melanjutkan sesi menguping yang ia lakukan.

Meski ia adalah rakyat rendahan, tidak sepatutnya ia berbuat tidak sopan.

Pengalaman itu pada akhirnya terpendam, tak pernah tersampaikan oleh lisan Idra sekalipun.

Tak pernah tercatat oleh sejarah.

Bahwa Idra, secara tidak sadar telah bertemu dengan orang-orang Eryndor, yang datang untuk menyelamatkan Auduma dari kehancuran, serta memberikan hadiah berupa pusaka berharga untuk dataran ini.











-Day 10-



Asik, Haotis Rioda.

Udah day 10 nih, agak riweuh juga ya sambil nulis buat Auduma, doakan sj ak mampu sampe beres, aamiin.

Day 10: Ambil buku fiksi terdekat, buka halaman 6, jadikan 2 kata pertama sebagai inspirasi.

Hasil: "Pada Zaman" dari buku Dreams of Gods and Monsters, Laini Taylor.

Are You Healed, Or Just Distracted?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang