PROLOG

128 4 6
                                    


Helaan nafas yang berat terdengar lirih memenuhi udara hangat malam ini. Aku menatap langit-langit kamar berwarna biru muda yang nyaris bersinar terang tertimpa cahaya lampu di atas sana. Huft, aku berseru kecil. Menutup mata menghindari sinar cahaya lampu. Ukuran kamar ini sangat luas di banding kamar kos yang sudah aku tempati hampir empat tahun itu. Tapi entah kenapa ruangan ini membuat dadaku terasa begitu sesak seperti hari-hari berat yang aku alami beberapa bulan terakhir.

Suasana sunyi dan heningnya malam menambah rasa hampa dalam hatiku. Padahal jam di meja belajar masih menunjukkan pukul 20:23 menit dan situasi di sekitar sudah sangat sepi. Tidak ada orang yang berlalu lalang kesana kemari. Semua orang menutup pintu rapat-rapat. Beristirahat dengan tenang untuk besok hari kembali bekerja di ladang sampai matahari berada di atas kepala. Kecuali aku yang terus berkutat dengan dunia menyeramkan ini.

Aku membolak balikkan tubuh dengan gelisah. Lalu kembali ke posisi awal. Terlentang menatap langit-langit kamar yang terang benderang.

"Oh menyebalkan," gerutuku pelan.

Isi kepalaku seperti tidak mau berhenti berkeliaran. Memikirkan banyak hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Tentang masa depan yang tak pasti. Hidupku yang hanya berputar dalam satu sisi dan tentu saja yang paling rumit adalah aku masih memikirkan masa lalu yang telah pergi.

Bayang-bayang kenangan berputar depan mata. seolah ia tak pernah rela melepaskan ku. Seolah ia tak pernah ingin aku pergi dari sana. Bahkan saat aku melawan dengan susah payah. Kenangan itu terus berputar seperti kaset rusak yang tak dapat diatasi. Sekuat tenaga aku bangkit dari tempat tidur.

"Mematikan lampu saja aku begitu malas."

Lampu yang terangnya sangat mengganggu itu sudah mati total, menyisakan ruangan yang gelap gulita. Aku berjalan dengan malas menuju tempat tidur. Kebiasaan setiap malam yang hampir membosankan.

Aku berusaha untuk tertidur. Memejamkan mata. Rasa hangat mengalir membasahi pipi. Aku menghela nafas kembali, untuk kesekian kalinya aku menangis. Menangisi hal yang sama setiap saat. Dadaku terasa semakin sesak saat potongan-potongan masa lalu silih berganti datang dan menghilang. Apakah hidupku akan terus seperti ini? Akankah aku bisa keluar dari situasi yang menyakitkan ini? Atau jangan-jangan aku butuh waktu yang cukup lama untuk bisa keluar sejauh mungkin? Semua pertanyaan tidak berguna itu terdengar bergantian diantara isak tangis kecil yang tertahan. Rasanya sangat sepi dan kosong.

Aku tersentak kaget ketika bunyi alarm yang sangat menyebalkan terdengar. Meraih hp yang tergeletak di bawah bantal. Sudah jam 06:15. Aku tertidur lelap semalaman setelah kelelahan menangis.

"Sora, sudah bangun?" 

Suara ibu terdengar dari luar pintu. Hidupku masih tenang jikalau suara teduh itu masih terdengar setiap pagi.

"Iya, Bu," jawabku pelan.

Bangun dengan mata sembab dan kepala yang pusing akibat menangis tadi malam sangat menyiksa.

Cermin samping tempat tidur menampilkan tubuhku yang kian hari semakin kurus. sudah tiga bulan lebih aku tidak menimbang berat badan. Terakhir beratku hanya sekitar 42 Kg. Sangat kecil dibandingkan berat badan empat tahun lalu. Rambut mengembang seperti singa bangun tidur dan wajah yang kusam merupakan pemandangan setiap pagi yang terpantul dari dalam cermin.

Selesai bersiap-siap. Aku mengoleskan lipstik sedikit supaya tidak terlihat pucat. Mengambil tas yang telah terisi penuh buku-buku. Mengaitkannya di bahu bagian kanan. Beranjak keluar kamar menemui Bapak dan Ibu yang sedang menunggu untuk sarapan bersama sebelum berangkat bekerja.

"Selamat pagi," sapa Bapak hangat. Ia tersenyum lembut. Aku tersenyum kecil menimpali.

"Penulis siap berangkat kerja?" tanyanya menggoda. Aku hanya tersenyum tengil.

"Harus semangat berkerja supaya jadi bintang top," ucapku penuh semangat, mengepalkan tangan.

"Ibu nanti mau dibawakan apa sepulang mengajar?" tanyaku ke Ibu yang hendak duduk di kursi depanku.

"Sudah tidak perlu," jawab Ibu singkat.

Tangannya yang cekatan mengambil nasi dan lauk.

"Kalau Bapak?"

Aku balik bertanya ke Bapak. Tentu saja aku sudah tahu jawaban Bapak.

"Cukup putri Bapak pulang dengan selamat sehat dan bahagia itu sudah menjadi oleh oleh"

Bapak kembali menyeringai menggoda. Aku mendengus kecil. Jawaban yang selalu sama setiap aku bertanya oleh-oleh yang Bapak inginkan. Sejak dari zaman kuliah sampai anaknya kerja tidak pernah berubah.

"Ya sudah kalau tidak ada yang mau dibawakan oleh-oleh," ucapku pura-pura kecewa.

Meski sebenarnya dengan begitu uang bulanan aman. Aku tersenyum sendiri.
Pagi yang hangat dan hari yang menyenangkan setiap hari terlewati, walaupun nanti saat malam tiba. Senyum manis yang seharian menemani akan sirna begitu saja. Seolah tidak pernah mampir di bibir.

Motor yang biasa aku gunakan untuk bekerja sudah terparkir rapi. Terlihat bersih dan mengkilap.

"Ini pasti kerjaan nya, Bapak," gumamku pelan yang dihiasi senyum simpul.

Rasa hangat menjalar di hatiku. Perlakuan kecil Ibu dan Bapak sangat-sangat membuatku bahagia. Asal masih ada mereka dunia ku masih baik-baik saja. Apapun masalahnya akan terlewati asal ada mereka.

"Aku berangkat dulu Pak, Bu" aku berseru kecil dari luar rumah.

Bapak yang sedang membawa alat bertani keluar dari rumah diikuti Ibu di belakang.

"Hati hati Sora," ucap ayah.

Ibu melambaikan tangan dengan ciri khas senyum manisnya. Aku menghidupkan motor dan melaju meninggal rumah.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang