BAB 5# SESEORANG YANG TAK MENGINGINKANMU

37 2 1
                                    


"Kamu punya kontak Vei dan kalian saling kirim pesan." Aku tersenyum miris.

"Ternyata aku sangat bodoh mempercayaimu mentah-mentah. Padahal kamu sendiri sedang asik pendekatan dengan calon tunanganmu yang katanya tidak saling mengenal."

"Aku melakukan permintaan Kakak untuk lebih kenal dengannya." Tama menyela pembicaraanku.

"Hanya sebatas mengabulkan keinginan mereka," ujarnya lagi.

Tadi ketika memeriksa hp Tama aku mencari nama Vei. Benar saja dugaan Diar, kalau Tama dijodohkan dengan Vei siapa lagi perempuan yang rumahnya dekat dengan Tama dan dia juga kuliah di kampus yang sama, jurusan yang juga sama dengan ku dan lulus dua tahun lalu.

Ketika Tama sudah tidak menjawab pertanyaanku itu sudah menjadi jawaban pasti, Vei adalah orang yang akan dijodohkan dengannya. Tanganku terkepal erat menahan emosi. Lihat Tama yang sudah kejebak mentah-mentah masih berusaha mengelak tuduhan ku barusan.

"Aku tidak bisa menolak perjodohan ini, Ra. Sudah aku bilang sejak awal kalau kita tidak bisa bersama. Aku dan kamu tidak berjodoh," ucapnya menyakitkan tanpa belas kasihan padaku.

Detik itu pula aku paham, Tama sejak awal tidak ada keinginan menolak dengan tegas perjodohan ini. Sejak awal dia pasrah akan nasib hubungan kami. Tapi kata-katanya terlalu menyakitkan untukku yang masih terbelenggu akan dirinya.

"Apa masih ada pertanyaan lagi, Ra?" Dia bertanya, sambil lalu menyodorkan hp kehadapan ku yang sedang membeku.

"Periksa sesukamu, cari apapun yang ingin kamu cari, kalau perlu bawa hp itu pulang mungkin bisa membuatmu puas dan berhenti seperti ini."

Deg, aku menelan ludah, perkataan tama telak mengenai ulu hati. Aku tidak menjawab. Tetap membeku di tempat mencerna semua kalimat-kalimat jahat yang Tama lontarkan. Perkataan barusan menamparku dengan sadar. Menampar harga diriku sebagai perempuan.

"Mungkin bagimu aku terlihat jahat. Mengorbankan hubungan yang kita bangun selama dua tahun berakhir sia-sia. Tapi bagiku melepaskan mu sangat tidak mudah, aku juga berkelahi dengan diri sendiri untuk bisa rela melepaskan mu."

"Berhenti mengatakan apapun. Berhenti mengatakan omong kosong itu. orang kaya seperti kalian memang mudah mencampakkan orang lain. Sibuk membahagiakan diri sendiri tanpa peduli rasa sakit orang lain. Aku tahu perjodohan kalian dilakukan supaya kamu bisa dengan mudah menjadi CEO. Dia seorang anak konglomerat yang nantinya dapat mempermulus jalanmu mencapai tujuan itu."

"Kamu terlalu banyak berasumsi sendiri, Sora. Kamu juga mana mau mendengarkan penjelasan orang lain, dan sibuk berpikiran liar seperti itu." Tama memotong percakapanku.

"Harus aku katakan berapa kali supaya kamu berhenti berasumsi liar seperti itu." lanjut Tama, wajahnya memerah menahan amarah mendengar ucapanku barusan.

"Kita sudahi saja pertemuan hari ini. Kamu terlihat tidak stabil. Aku harap kamu tidak over thinking berlebihan soal perjodohanku." Tama meraih ponsel di sampingku yang tak aku sentuh sama sekali. Dia berdiri dengan tatapannya tertuju padaku.

"Aku pulang dulu, Ra. Jaga kesehatan, aku harap kamu bisa melepaskan ku dan melupakan semua tentang hubungan ini," ujarnya sambil lalu pergi meninggalkanku sendirian di pojok ruangan tempat kami duduk.

Aku menatap kepergiannya dengan nanar, menyesal karena mengatakan asumsi yang tak pasti dan rindu yang masih tak terobati.

Mobil pribadi milik Tama keluar parkiran. Dia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih menatapnya dari dalam cafe. Biasanya sebelum pulang Tama menurunkan kaca mobil melambaikan tangan dengan senyum manis khas miliknya, tapi kali ini dia berlalu begitu saja. Aku menangis dalam diam, mengusap air mata yang hendak jatuh. Pertemuan ini jauh dari apa yang aku harapkan. Tama tidak menjadi obat penenang bagiku. Hari ini dia sungguh keterlaluan. Pertemuan kami menjadi kacau. Aku sangat menyesal.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang