BAB 22# PULANG

12 2 1
                                    

Kami berempat kembali ke negara asal. Tiba di bandara tengah malam, yang biasanya padat oleh kerumunan manusia, tampak lenggang. Kami berpencar sesuai arah jalan pulang masing-masing. Sem dan Meggy berpamitan sebelum pulang terlebih dahulu dariku.

"Secepatnya kita agendakan perjalanan berikutnya, Sora. Aku sangat senang bisa mengenalmu."

Meggy memelukku sebelum berpamitan pergi, mengajak kami liburan bersama lagi. Aku hanya tersenyum mengangguk. Tentu saja aku dengan senang hati pergi berlibur bersama mereka asal gratis.

"Sampai jumpa lagi, Sora."

Meggy melambaikan tangan dari dalam mobil. Mobil yang membawa Sem dan Meggy berlalu dari hadapan. Menghilang melejit di tengah jalan ibu kota.

"Terima kasih atas liburan yang menyenangkannya," ucapku. Tama dan aku juga pulang. Dia mengantarku terlebih dahulu ke kos.

'Senang bisa melihatmu bahagia, Ra."

"Ternyata sangat menyenangkan pergi jalan-jalan ke luar negeri. Awalnya aku akan merasa tidak nyaman karena ada sepupumu. Tapi mereka jauh lebih ramah dari apa yang aku bayangkan."

"Kamu kira keluargaku monster ha?"

Tama melirikku dengan senyum tipis. Aku tertawa kecil menanggapi. Awalnya aku mengira perjalanan ini tidak akan pernah menyenangkan karena ada Meggy dan Sem. Tetapi mereka sangat membantuku saat tidak ada Tama. Mereka seperti teman lama bagiku.

"Oh iya. Papamu tahu kalau kita pergi ke Hongkong?" tanyaku penasaran. Karena Tama baru batal bertunangan, dan itu perjodohan. Tapi Tama malah pergi keluar negeri bersamaku. Aku takut Papa Tama marah atau sebagainya.

"Papa sudah tahu sebelum aku beri tahu," ujarnya.

"Papa menelepon Meggy bertanya aku pergi bersama siapa?"

"Terus Meggy bilang apa?" tanyaku buru-buru.

"Meggy memberitahu terus terang. Sebelumnya aku juga sudah memberitahu Meggy untuk tidak menutupi apapun dari Papa," ucap Tama. Aku menghela nafas khawatir. Ada sesuatu yang janggal dalam hati.

"Semuanya aman terkendali. Sayang. Kamu tidak perlu khawatir berlebihan seperti itu. Aku sendiri yang mengajakmu pergi. Papa hanya bertanya situasi kita di Hongkong."

Tangan Tama mengusap punggung tanganku yang terkepal.
Tama baru saja gagal tunangan yang direncanakan oleh semua pihak keluarga besarnya. Tentu aku merasa tidak aman karena posisiku yang awalnya dibuang begitu saja kembali bersama Tama.

Aku takut mereka berpikiran kalau aku hanya perempuan miskin yang gampangan. Apalagi Papa Tama, beliau pasti tidak suka kalau anaknya kembali bersamaku. Sejak awal Papa Tama tahu kalau dia punya pacar tapi malah menjodohkannya dengan orang lain.

"Kita bertemu lagi saat akhir pekan, sepertinya aku akan sangat sibuk." Tama melepaskan sabuk pengaman dari diriku. Kami sudah sampai. Dari dalam mobil, gedung lantai dua terlihat sepi. Penghuni kos pasti sudah tertidur lelap di jam segini.

"Kabari aku saat tiba di rumah," ucapku sambil turun dari dalam mobil. Menutup pintu mobil. Tama menurunkan kaca mobil, tersenyum dibalik kemudi. Dia melambaikan tangan. Mobil Tama bergerak perlahan. Pergi melewati gang sempit jalan kos.

****. *****. ****

Satu minggu berlalu sejak aku pulang dari Hongkong bersama Tama. Setiap aku pulang dari kampus atau pergi keluar bersama Tama, semakin jarang bertemu Diar. teman sekamarku sekaligus sahabatku. Kecuali kita lagi sama sama tidak sibuk. Anehnya Diar juga jarang mengajakku bicara. Biasanya Diar pasti bercerita apa saja ketika kita berdua di dalam kamar.

Seperti hari ini. Sepulang dari kampus, dalam kamar ada Diar, tapi dia langsung keluar ketika aku datang, belum sempat aku menyapanya dia sudah berlalu dari hadapanku. Aku rasa sikap Diar berubah.

"Aku rasa sikap Diar berubah," ucapku ditengah bunyi ketikan yang bersahutan antara keyboard Tia dan milikku. Bunyi ketikan keyboard Tia terhenti. Dia menghela nafas menatapku.

"Aku sudah satu minggu ini tidak saling sapa dengan Diar," ujarnya yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Loh ada apa? Kalian bertengkar," tanyaku menyelidik.

Soalnya tidak ada masalah yang terjadi antar kita bertiga. Sebelumnya aku lihat kita masih baik-baik saja. Juga masih sempat mengerjakan skripsi bersama. Kenapa tiba-tiba Tia dan Diar sudah tidak saling sapa? Dan aku baru tahu sekarang.

"Sebenarnya tidak ada masalah. Tiba-tiba terjadi begitu saja." Tia melanjutkan mengetik, menatap seksama layar laptop di depannya.

"Kamu baru sadar sikap Diar berubah karena terlalu sibuk bucin," cibirnya.

Aku tersenyum kecil. Tia dan Diar sudah mengetahui perihal aku dan Tama yang kembali bersama. Mereka juga tahu kalau aku pergi berlibur bersama Tama ke luar negeri. Pulang dari Hongkong aku membawakan buah tangan untuk mereka berdua. Antara percaya sama tidak, Tia dan Diar hanya menggelengkan kepala.

"Tapi aku tak tahu alasan kenapa Diar seperti itu." Aku masih menatap Tia. Mencari jawaban dari sikap sahabat kita.

"Dia tiba-tiba berubah, enggan bicara denganku. Bahkan Diar dengan sengaja menghindar dariku."

"Sudahlah, Ra. Kamu tidak perlu sibuk memikirkan itu. Besok lusa siapa tahu Diar akan berubah lagi. Menjadi sahabat kita yang dulu atau berubah jadi power ranger yang berwarna pink tuh," ujarnya lagi mengangkat bahu. Tidak ambil pusing.

"Dih, Tia." Aku mencubit lengannya kecil.

"Aku masih kepikiran saja alasan kenapa dia bersikap seperti itu kepadaku," sambung ku. Tia yang aku cubit hanya mengibaskan tangan. Melanjutkan revisian.

Aku tidak tahu alasan sikap Diar berubah. Sebelum berangkat ke luar negeri kami masih baik-baik saja. Setelah itu sikapnya berubah. Dan hal yang paling membuatku merasa Diar berubah. Ketika dia tidak lagi mengajakku kemana-mana. Mengajakku pergi ke luar untuk sekedar makan. Mengajakku pergi shoping atau mengajakku mengunjungi tempat-tempat spot foto Instagram enable. Bahkan dengan sangat sengaja Diar mengajak orang lain pergi bermain di depanku. Diar mengabaikan ku.

"Diar." Panggilku sengaja saat kami berdua berada dalam kamar. Meski aku memanggilnya pelan, tetap saja akan terdengar dari jarak kami yang berdekatan.

Selang dua menit tidak ada jawaban. Kosong. Panggilanku barusan tidak menemui jawaban. Sejak hari itu aku memilih untuk tak memulai percakapan apapun dengannya. Sebelum Diar yang mengajakku bicara terlebih dahulu, meski sampai saat ini dia masih saja mengabaikan ku.

"Aku sudah biasa tidak saling bertegur sapa dengan Diar, Ra," ucap Tia memecah lamunan. Aku menoleh, menatap Tia.

"Diar dan aku sering kali tidak bertegur sapa. Bahkan kami jarang sekali bicara. Menurutku itu hal biasa dengan sifat Diar. kamu tidak perlu kepikiran begitu. Anggap saja dia sedang sariawan, enggan bicara," imbuhnya.

Lagi aku dibuat tertegun. Perkataan Tia barusan membuatku sedikit terkejut. Karena baru mengetahui masalah itu sekarang, padahal Tia sering tidak bertegur sapa. Kita telah bersahabat selama 4 tahun tapi kenapa baru sekarang aku mengetahui hubungan antara Tia dan Diar. Baru kali ini juga kita seperti anak kecil yang tidak saling berteman hanya gara-gara hal sepele. Itu pun aku tidak tahu letak salahku di mana.

"Aku baru sekarang yang tidak saling bicara, Tia. Kamu juga, baru cerita sekarang kalau jarang bicara dengan Diar. Huft."

Aku menghembuskan nafas. Menyandarkan diri ke bantalan sofa. Kami berdua berada di ruang tamu. Mengerjakan revisian sejak tadi hingga tengah malam.

"Kalau kamu diabaikan, Ra. Ya sudah abaikan Diar juga. Jangan mau mengalah. Kamu tidak tahu kan salahmu di mana," ujar Tia.

"Aku saja tidak mengerti kenapa sikapnya berubah terhadapku," timpal ku.

"Mungkin Diar sudah bosan sama kamu, Ra. Sudah tidak asik lagi di ajak bercanda, atau lebih parahnya lagi kamu tidak lagi dibutuhkan."

"Huss,, tidak boleh bicara seperti itu," ucapku menyahuti prasangka Tia yang buruk. Tia mengangkat bahu, tidak peduli.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang