BAB 1 #TAMA DAN SORA

63 3 2
                                    


Senyum cerah terpantul dari cermin persegi yang tertempel di dinding depan wajah. Aku menatap wajah dengan seksama. Memastikan tidak ada satu senti pun yang luput dari make up tipis yang aku gunakan pagi ini. Matahari pagi ini terbit dengan sempurna. Cerah dan hangat. Begitu indah untuk hari yang juga indah. Sangat menyenangkan membayangkan kalau pagi ini aku akan keluar dengan Tama.

Laki-laki yang sudah bersamaku selama dua tahun. Sebenarnya bukan hari ini saja aku menghabiskan waktu bersama Tama. Tapi apapun tentangnya akan selalu menyenangkan dibahas. Dan apapun jika bersamanya akan terasa membahagiakan. Tidak ada satu hari pun yang tidak membahagiakan jika bersamanya. Seolah setiap waktu aku jatuh cinta padanya.

Tadi malam Tama menghubungiku. Mengajak berjalan keluar sebentar. Katanya dia punya perlu yang harus dikatakan secara langsung. Meski awalnya aku menolak karena penasaran setengah mati. Aku memaksa dia untuk bicara lewat telepon malam itu saja. Tapi Tama tetaplah Tama. Dia menolak. Katanya lagi berita itu harus dikatakan secara langsung. Aku mengalah dan menyetujui ajakan Tama. Maka pagi ini lah kita pergi keluar.

Hp yang tergeletak di atas tempat tidur berdering. Aku bergegas melihat. Di layar nama Tama tertera.

"Aku sudah di luar," ucapnya di balik sambungan telepon.

"Oke," jawabku singkat. Sambil tangan mengambil sendal di rak sepatu.

Tentu saja aku keluar dari gerbang dengan senyum yang masih membentuk bulan sabit. Sangat lebar. Pantulan sosok laki laki yang berada dalam mobil terlihat dari luar. Dia lah Tama.

"Hai, apa kabar?" Aku bertanya iseng saat pintu mobil terbuka dan duduk di sampingnya.

Ia menyambut ku dengan senyum yang sama persis indah dan cerah. Hanya saja ada yang aneh dengan wajahnya. Aku melihat kerutan kecil di bawah mata Tama. Dia tampak kelelahan dan kurang tidur.

"Kita mau kemana?"

"Kita keliling pelabuhan saja ya," ungkapnya dengan posisi menatap jalanan di depan.

Pelabuhan yang jarak nya lumayan jauh dari kos. Tempat yang biasa kita kunjungi setelah pulang dari luar saat tidak ingin langsung pulang ke rumah. Maka kami memutuskan untuk berputar putar sebentar disana. Aku mengangguk tanda setuju.

"Kamu mau bicara soal apa?"

Memulai percakapan. Langsung ke topik pembahasan karena rasa penasaran yang tertahan sejak tadi malam. Tama menghela nafas berat.

"Aku mau tunangan," ungkapnya pelan. Reflek aku membalikkan badan menatapnya dengan tanda tanya yang tidak terucap.

"Aku dijodohkan oleh keluarga besar."

Cplaas, seperti tersambar petir di siang bolong.

Tubuhku seakan tersengat aliran petir. Menegang. Lidah terasa kelu. Hawa dingin menyergap menusuk kulit. Aku menggigit bibir. Deru nafas yang memburu membuatku sesak nafas.

Rasanya hancur berantakan tapi tubuhku masih kokoh menghadap Tama yang saat ini menatap kembali dengan tatapan menyedihkan. Masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ini sangat mustahil terjadi. Bagaimana mungkin dia dijodohkan sedangan keluarga besarnya tahu kalau aku adalah pasangannya. Tama dan Sora.

"Kamu bercanda kan?" aku masih bertanya memastikan kabar barusan adalah omong kosong Tama.

"Katakan Tama. Kalau barusan itu kamu hanya bercanda."

Aku membalikkan badan. Meremas jari jemari dengan kuat. Air mata yang tadi tertahan. Tumpah ruah membahasi pipi. Tama hanya terdiam membisu. Aku menoleh sebentar ke arahnya. Dia menangis. Seorang Tama menangis.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang