BAB 32# LINGKARAN

19 1 1
                                    

"Sora."

"Eh iya."

Saking asiknya menatap Tama aku hampir melupakan dunia di sekitarku. Panggilan barusan mengagetkan.

"Kamu dipanggil sejak tadi tapi masih bengong, Ra. Ayo Mama sama Papa sudah tiba sejak tadi."

Tama menjulurkan tangannya. Deg. Jantungku seketika berdetak lebih kencang. Berbarengan dengan mata yang terbuka lebar. Menatap ke ke arah orang tua Tama. Buluk kudukku meremang. Astaga, aku belum siap bertemu dengan kedua orang tua Tama.

"Tunggu, sejak kapan mereka tiba?" tanyaku di sela sela langkah kaki yang tengah menuju ke tempat keberadaan kedua orang tua Tama.

"Kakakmu juga berada di sana sana bersama mereka?" Bertanya gugup. Sangat segan bertemu saudara tertua Tama tersebut.

"Mungkin," jawab Tama singkat.

Aduh... bagaimana nanti aku akan bersikap ketika berada di depan mereka. Aku memeras tali tas kecil yang ter selempang di pundak.

"Ma, Pa."

Tama memanggil kedua orang tuanya. Aku menelan ludah. Menatap kedepan yang saat ini kami saling berhadapan. Papa Tama berdiri tegak dan Mamanya berdiri anggun di sampingnya. Mereka berdua teramat serasi.

Penampilan mewah mereka seakan mendominasi pertemuan ini. Ragu ragu aku mengulurkan tangan hendak bersalaman. Alangkah terkejutnya mereka menyambut uluran tanganku, dibarengi senyuman. Aku kira akan ada sedikit penolakan dari mereka setelah semua yang terjadi. Karena malam ini pertemuan pertama kali setelah hari pertunangan Tama.

Dipikir pikir aku bertemu mereka hanya bisa dihitung jari. Sekitar tiga kali aku bertemu dengan keluarga Tama. Pertama dulu saat dia wisuda. Kedua kalinya saat Tama mengajakku ke rumahnya. Meski saat itu bukan hanya aku tapi juga ada teman-teman Tama yang berkunjung. Dan sekarang pertemuan ketiga kalinya bertatap muka. Setelah sekian lama kami menjalin hubungan hanya beberapa kali bertemu itupun bukan acara formal pertemuan resmi antara keluarga.

"Kalian sudah tiba sejak tadi."

Suara lembut Mama Tama bertanya. Aku mengangguk pelan. Tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Rasa segan menguasai suasana hatiku. Antara menahan malu sebab masih saja bersama anaknya setelah kejadian itu. Atau rasa sesak dan benci diriku terhadap keputusan mereka menjodohkan anaknya.

"Kak Syam dimana?" Tama balik bertanya.

"Mungkin sedang bersama teman temannya."

Kami duduk melingkari meja bundar. Aku, Tama, Mama, Papa, Kak Syam berada di satu tempat. Tidak ada percakapan yang terjadi mereka sibuk masing-masing. Selagi kami bersama, mereka semua membahas banyak hal yang belum aku pahami. Percakapan seru yang terjadi antara anak dan kedua orang tuanya tampak asik. Kecuali aku yang hanya memperhatikan sendirian.

Aku juga hanya bertegur sapa sebentar dengan saudara Tama tersebut. Tak ada lagi interaksi berlebihan setelah itu. Memang layaknya orang asing yang tiba-tiba hadir dalam lingkaran mereka. Seakan berada keberadaan ku tidak tampak dan tidak ada. Seolah aku hanya di anggap kursi kosong.

Percakapan terus berlanjut kecuali aku yang hanya terdiam. Mereka tidak ada yang mengajakku bicara terutama Tama, meski begitu aku juga bukan siapa siapa yang berharap diperlakukan spesial oleh mereka. Maka dengan sadar diri memutuskan memperhatikan sambil ikut tersenyum canggung saat ada hal yang mereka tertawakan bersama. Papa Tama berlalu dari kami, di ikuti oleh Mama dan Kakaknya. Mereka pergi. Berpencar entah kemana. Mungkin bertemu kolega bisnis mereka. Dan Tama masih bersamaku.

"Acaranya sudah mau dimulai," bisikku di telinga Tama. Dia sejak tadi sibuk sendiri. Melupakanku.

"Ayo kedepan. Kita harus berada di jejeran para tuan rumah."

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang