BAB 26# HANYA SEORANG TEMAN

10 1 1
                                    

Joy sibuk membuka setiap lembaran buku, wajah tampannya tampak kusut dan kusam. Laptop terus menyala sejak tadi, menampilkan deretan kalimat yang berjejer rapi. Aku sesekali membantu mengetikkan kutipan kalimat yang ia perlukan untuk skripsinya.

Waktu terus berjalan, orang-orang di sekitar kami satu persatu beranjak pulang. Lampu kecil di atas meja mulai mati satu persatu. Tersisa beberapa orang yang ku lihat sama kusutnya seperti Joy masih berkutik dengan laptop dan tumpukan buku di sampingnya.

"Mau pulang, Ra?" Joy bertanya, ia sedikit merasa tidak enak karena membuatku hanya duduk menemani dirinya.

"Selesaikan dulu skripsimu Joy. Kamu tidak mau kan cuma melihatku wisuda duluan dan kamu hanya datang sebagai mahasiswa."

"Baiklah, Sora. Sebentar lagi selesai." Joy tersenyum, tangan Joy mengusap pelan rambutku. Aku yang menyandarkan tubuh di sofa terkesiap.

"Hus, hus, fokus dulu sana."

Mencegah tangan Joy mengusap terlalu lama rambutku. Joy kembali fokus terhadap laptopnya yang terbuka. Aku juga sibuk. Mencoba membaca buku yang Joy ambil dari rak.

Ckrek... Silau cahaya flash camera menerangi mata. Spontan menutup wajah dengan buku barusan yang aku pegang.

"Buat kenangan, Sora. Kapan lagi aku bisa ditemani mengerjakan skripsi oleh perempuan cantik sampai malam seperti sekarang," kata Joy berusaha menghalangiku yang ingin merebut ponsel miliknya.

"Cantik kan?" Joy menyodorkan hasil gambar.

"Harusnya kamu bilang dulu kalau mau mengambil fotoku, Joy," kataku, pura-pura membenarkan posisi duduk dan anak rambut. Berpose secantik dan semenarik mungkin.

"Eh,,," Joy meraih tanganku. Menggenggamnya erat.

"Aku merindukanmu, Ra. Tidak tahan rasanya ingin segera melihatmu setelah hampir satu bulan tidak bertemu," bisik Joy ditelinga, membuatku merinding.

Mendengar pengakuan tulus Joy. Aku terdiam. Menelan ludah gugup. Belum sempat sadar akan keterkejutan ucapan Joy barusan. Joy dengan santainya, mengecup pelan punggung tanganku. Dan aku hanya bisa terdiam, membisu di tempat dengan degupan jantung yang tak karuan.

Saking speechless akan tindakan Joy. Tatapanku tetap terkunci ke arahnya. Dia melepas tanganku, menghiraukan diriku yang gelagapan. Joy tersenyum kecil. Melanjutkan membaca buku dan mengetik kalimat kalimat kutipan dari buku.

Tubuhku yang awalnya sedikit menghadap ke arah Joy, beralih duduk tegap ke arah depan. Gugup mengambil buku, sambil membenarkan posisi. Berusaha terlihat stabil meski tidak bisa dipungkiri. Aku terkejut dan merasa canggung sekaligus rasa bersalah.

"Aku beli kopi keluar sebentar. Kamu, aku tinggal dulu, Sora." Joy mengambil jaket yang terletak di atas sofa.

"Kamu mau titip kopi apa minuman yang lain?" tanya Joy.

"Eh... Aku titip ice cream cokelat," ucapku canggung. Karena kejadian tadi kami saling diam. Joy juga seakan merasa grogi. Selepas ku menyebutkan titipan, Joy melangkah pergi.

Sudah pukul 21:00, aku kira jam sepuluh malam. Berhubung Joy keluar dan aku ditinggal sendirian. Aku mengambil hp yang tergeletak sejak tadi. Memainkannya sambil menunggu Joy kembali dari luar.

"Sora!!!" Suara teriakan tertahan mengagetkan, hp yang tergenggam reflek jatuh.

"Astaga Tia," desis ku kesal. Meraih ponsel yang terjatuh.

"Aku tau apa yang kamu lakukan di sini," ucap Tia menggebu-gebu. Dia duduk di sampingku.

"Aku melihat semuanya, Sora. Kamu dan Joy barusan-" tanganku sigap menutup mulut kompor Tia

"Tia kondisikan mulut cerewet mu dulu ya." kataku, sambil menarik nafas pelan. Sungguh tak disangka perlakuan Joy menarik perhatian orang lain, alias tertangkap basah oleh sahabatku sendiri.

"Kamu sudah punya pacar, Sora." Tia melepaskan dekapan tanganku dari mulutnya.

"Tapi aku lebih suka kamu bersama Joy." Wajah menyebalkan Tia tersenyum mengerikan.

"Kamu kenapa bisa di sini?" tanyaku, soalnya di area yang aku tempati dengan Joy khusus buku-buku ilmu terapan.

"Mengantar pacarku mencari buku. Dan alangkah mengejutkannya tanpa disengaja melihat mu dan Joy yang tengah bermesraan." Tia menggelengkan kepala.

"Aku hanya menemani Joy mengerjakan penelitiannya, sedikit membantu juga. Tidak ada yang terjadi seperti apa yang kamu pikirkan," jelas ku. Tia tetap menatap dengan wajah curiga.

"Aku tidak lagi berselingkuh, Tia. Lagi pula kamu setuju aku bersama Joy dari pada Tama bukan? Berhenti menatap seperti itu," imbuhku. Menimpuk tubuh mungil Tia dengan buku.

Tentu saja aku tidak lagi berselingkuh, meski tadi Joy sempat mencium tanganku. Dan aku hanya terdiam bukan berarti senang atas perlakuannya. Tapi karena tidak tahu harus bersikap bagaimana. Joy juga peka akan perubahan sikapku. Dia merasa tidak enak dan canggung sendiri. Mengingat tindakannya yang sedikit agresif.

"Santai, Sora. Aku Cuma menatapmu itu saja tidak lebih. Tapi hati-hati ketahuan Tama," dia kembali menggodaku.

"Cepat pergi sana sebelum Joy datang." Mendorong Tia agar beranjak pergi.

"Kenapa diusir, Ra." Suara Joy menggagalkan tindakanku.

"Dia temanmu," tanya Joy, menunjuk Tia yang tersenyum malu-malu. Kantong plastik belanja ia letakkan di atas meja.

"Aku Tia, sahabat Sora." Tia lebih dahulu memperkenalkan diri.

"Terima kasih sudah membiarkanku bergabung," ucapnya tidak tahu malu.

"Dengan senang hati, kamu bisa bergabung bersama kami." Joy menyahuti.

"Aku cari-cari, ternyata kamu ada di sini, Tia." Suara laki-laki nimbrung dari belakang Joy. itu pacar Tia.

"Kita gabung bersama mereka. Kamu duduk sini. Dia jurusannya sama denganmu."

Tia menarik lengan pacarnya. Mengajak duduk bersama dengan kami, sambil lalu memperkenalkan Joy. Kebetulan Joy dan pacar Tia sama sama fakultas Hukum.

"Silahkan duduk," ucap Joy menyambut pacar Tia. Pacar Tia duduk dengan senang hati.

"Maaf menganggu kalian, aku dan Tia cari tempat lain dulu. Takut kalian terganggu akan keberadaan kami," ujar Andre, ia menatap Tia penuh arti. Mengajak sahabat ku itu untuk enyah dari tempat kita.

"Tidak apa-apa, An. Lebih baik kita bersama saja. Lebih asik soalnya."

Kali ini aku ikut berbicara, mengajak mereka gabung. Kepalang tanggung mereka sudah ada di sini. Lebih baik kami berada dalam satu tempat saja.

Kami berempat duduk melingkar. Sesekali berbicara, lebih banyak Joy dan Andre berbicara, diskusi mengenai studi mereka. Aku sedikit lega karena kedatangan mereka berdua. Setidaknya aku tak perlu terlalu merasa bersalah terhadap Tama.

Jika dia tahu aku pergi bersama laki-laki lain malam hari. Yakin sekali dia tidak akan pernah memaafkan ku. Pula aku tidak bisa menolak permintaan Joy, mungkin karena sudah lama tidak bertemu.

Entahlah, mungkin juga karena Tama telah meninggalkan luka yang tidak bisa dimaafkan. Mudah bagiku untuk membohongi dirinya. Tapi sikap itu sekarang tidak bisa dibenarkan. Meski rasa kecewa sepenuhnya belum menghilang. Aku tidak pantas mengkhianati Tama.

Sosok Tama sangat berarti dalam hidupku, meninggalkannya seakan menyakiti diri sendiri. Melepaskannya seperti aku menghapus seluruh duniaku. Hubungan ku dengan Joy tidak lebih sekedar teman biasa, meski terkadang ada sedikit getaran di dada saat bersamanya. Itu tidak bisa menggantikan perasaanku terhadap Tama. Joy juga tahu perasaan ini hanya untuk Tama. Tanpa harus diberitahu. Dia memahaminya dengan sangat baik.

Tak bisa dipungkiri aku tidak ingin menyakiti siapapun, baik Tama atau Joy. Pula aku tidak pernah berusaha mendekati Joy terlebih dahulu sebelum dia datang kepadaku. Walau sekedar menanyakan kabar atau meminta bantuan. Pasti aku tanggapi karena dialah seseorang yang membantuku berpegangan saat terpuruk.

Tidak mudah berbuat baik kepada seseorang tanpa mengharapkan balasan seperti yang dilakukan Joy padaku. Tapi yang mampu kulakukan hanya bisa membalas kebaikannya bukan perasaanya.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang