BAB 12# BAHAGIA HANYA BAGI MEREKA

21 2 1
                                    

"Kenapa kamu datang?"

Kami berada di tepi pantai. Tama mengajak paksa diriku yang baru selesai seminar. Lengkap dengan baju putih hitam serta almamater yang belum sempat aku lepas. Masih rapi melekat ditubuh. Rambutku yang disanggul dan kaca mata anti radiasi menunjukkan kalau aku dibawa pergi tanpa persetujuan. Kami pergi ke tempat yang biasa didatangi. Hamparan laut yang luas dan cuaca yang cerah sedikit membantu suasana hati.

"Karena aku ingin pergi menemui mu. Mengucapkan selamat dan cukup bertanya hal yang sama berulang kali."

Tama memberikan es kelapa yang dia pesan barusan. Aku menatap waja Tama, rasa kesal dan rindu bercampur jadi satu. Argh, aku ingin menampar wajah tampan itu, yang sekarang tampak menyebalkan.

"Berhenti memandangku seperti itu, Dek." Tama menoleh. Mata kami saling tatap.

Argh... Aku benci ketika Tama memanggilku dengan sebutan Dek. Aku bukan saudara kandungnya, bahkan aku bukan siapa-siapa.

"Kamu tidak suka aku datang di hari spesial mu, Sora?" Tama menyeruput es kelapa.

"Bukan aku tidak suka. Tapi kedatanganmu menggangu proses move on yang sudah aku lakukan dengan susah payah. Kamu tidak akan tahu rasanya pergi ditinggalkan sendirian karena setelah ini kamu akan dapat pengganti yang jauh lebih baik dan cantik dari pada aku."

Aku mengatupkan bibir, menahan emosi yang meluap-luap. Wajah Tama masih terlihat tenang. Semakin membuat hatiku tersayat jika dia tidak membela diri.

"Lagi pula kamu datang ataupun tidak datang, takkan mengubah apapun. Kamu juga tahu kalau aku kesulitan dalam melupakanmu. Eh, dengan entengnya kamu merasa baik-baik saja. Mungkin bagimu melupakanku sangat mudah. Bagiku ini adalah bagian tersulit dalam mencintai seseorang yang tak pernah aku sangka akan pergi meninggalkanku saat aku dalam situasi buruk."

Aku menarik nafas, berbicara panjang lebar. Tidak memberikan kesempatan pada Tama untuk menyela atau beradu mulut denganku.

"Seperti yang kamu tahu aku teramat mencintaimu, Tama. Tapi sayangnya kamu tidak berbelas kasih padaku." Aku menarik nafas berat.

"Aku kesini hanya ingin menenangkan dirimu, Sora." Tama berebut berbicara.

"Aku tahu kamu sangat merindukanku. Aku tahu kamu tidak bisa melupakanku. Kamu benar soal semua itu kecuali perihal aku tidak berbelas kasih padamu. Sedangkan tanpa kamu ketahui. Aku berusaha ada untukmu sampai aku tidak bisa lagi berada di sampingmu," ucapan manis Tama terdengar sangat perhatian.

Sialnya aku masih terbuai dengan ucapan halus yang Tama lontarkan. Angin sepoi-sepoi dari laut menerpa wajah, menerbangkan anak rambut yang tidak ikut terikat.

Tama menyeka anak rambut yang nyangkut terbawa angin di pelipis. Kebiasaan yang seperti ini-lah akan terkenang lama. Aku tidak protes terhadap tindakan Tama. Membiarkan laki-laki di sampingku ini melakukan apapun semaunya. Lelah rasanya bertanya dan melawan, sedangkan Tama tampak tenang tidak terbebani.

Percakapan hangat yang sudah lama tidak terjadi antara aku dan Tama kini kembali terjalin. Suasana canggung tadi mencair terbawa keindahan lautan. Tama mengajakku berjalan menyusuri tepi pantai. Mengobrol menceritakan keseharian masing-masing saat tidak lagi bersama. Tidak ada yang berubah dari Tama. Dia terlihat lebih segar dan baik. Andai aku juga bisa seperti dirinya mungkin mudah mejalani proses perpisahan.

"Besok malam hari pertunanganku, Sora," ungkap Tama.

Dia menatap hamparan luas lautan. Aku terdiam tidak merespon. Aku sudah menyadari pertemuan yaitu untuk memberitahuku akan pertunangannya dengan Vei. Saat Tama mengajakku kesini aku sudah tahu arah pembicaraan kami. Tama adalah tipe laki-laki yang tidak membuang waktu sia-sia. Pula saat bertemu denganku maka dia pasti punya maksud dan tujuan tersendiri.

"Baguslah, semoga lancar sampai ke pelaminan."

Aku berusaha untuk menaturalkan senyum terpaksa. Nafas berat Tama terdengar.

"Setelah aku bertunangan. Kita tidak bisa bertemu lagi, Ra. Tidak ada lagi kesempatan untuk kita berdua bertemu."

"Aku paham, Tama. Aku bukan lagi sipa-siapa mu. Kita tidak lebih dari dua orang asing yang diberikan kesempatan untuk mengenal dan berteman selama dua tahun terakhir. Pun kalau aku memaksa untuk kita bertemu akan membuat semua urusan semakin runyam. Sudah saatnya aku belajar tanpa kabar apapun darimu."

"Maafkan aku, Dek," ucap Tama yang hampir tidak terdengar saking pelannya.

"Aku minta satu hal ke kamu." Aku berdiri di depan Tama.

"Nanti ketika hari pertunanganmu. Tolong jangan posting apa-pun di sosial media tentang pertunanganmu." Tama mengangguk mendengar permintaanku.

Alasan aku mengajukan persetujuan barusan hanya ingin membuat Tama tidak dipandang sebagai laki-laki jahat. Pun aku tidak dipandang dengan tatapan menyedihkan.
Tama mengajak aku pulang saat matahari terbenam sempurna di ufuk barat.

Hamparan lautan biru tidak lagi terlihat, hanya menyisakan kegelapan sejauh mata memandang. Selama perjalanan pulang kami tidak mengobrol. Membiarkan keheningan menguasai jarak antara aku dan Tama. Saking sepinya helaan nafas kami terdengar silih berganti.

****                      ****                          ***
Malam pertunangan Tama dan Vei. Aku berdiam diri dalam kamar. Was-was menunggu berita apa yang akan terjadi saat acara Tama selesai digelar. Dari tadi pula aku keluar masuk kamar mandi. mules tapi tidak ingin buang air besar. Kebiasaan saat berada dalam situasi tertekan. Tanganku yang kering berpeluh.

"Sora." Suara teriakan Tia dari kamarnya mengagetkanku. Tia dan Diar berhamburan masuk ke dalam kamar. Mereka berdua menangis sambil memelukku yang kebingungan. Tia menjulurkan hp miliknya ke arahku.

Deg. Dua orang tengah tersenyum sumringah. Bahagia. Foto pertunangan Tama dan Vei, mereka berdua tersenyum lebar sambil menunjukkan jari manis yang tersematkan cincin.

Alangkah kagetnya lagi saat membaca tulisan di bawah foto. "Semoga kita bahagia sampai ke surga, Honey" tanganku gemetar. Seluruh otot tubuh seketika melemas. Aku duduk lunglai, air mata yang biasanya jatuh deras. Kali ini tidak keluar sedikitpun.

Tubuhku lemas melihat foto-foto pertunangan Tama dan Vei yang berterbangan di sosial media. Hatiku seperti ditusuk oleh tombak tumpul, di tusuk berkali-kali. Aku ingat sangat jelas kemarin malam Tama setuju untuk privasi ke semua orang. Aku mengatur nafas pelan-pelan.

Sepertinya penyakit asmaku akan kambuh. Mulutku terkatup rapat-rapat. Air mata hanya berlinang tidak sempat jatuh. Hidup damaiku akhirnya hancur lebur tak tersisa. Dari luar terdengar bisikan kecil dari anak-anak kos yang juga sudah mengetahui bahwa pacarku yang mereka tahu bertunangan dengan orang lain. Aku seperti orang lumpuh total, tidak sanggup bergerak.

Tia dan Diar masih menangis sesenggukan menatap diriku yang linglung. Hidung mereka merah karena menangis.

Sekali lagi aku tatap foto Tama dan Vei. Berkali lipat rasa sakit menusuk ke seluruh tulang-tulang. Nyeri. Seandainya bisa detik ini aku ingin menghilang sejauh mungkin dari semua orang.

"Tolong tinggalkan aku sendiri," ujarku terhadap Diar dan Tia yang sesenggukan. Menatap wajah mereka lebih menyedihkan dari pada wajahku yang lesu.

"Kamu tidak apa-apa kami tinggal sendirian Ra." Diar memastikan kondisiku. Diar memelukku lagi. Tangisnya pecah saat kami berpelukan.

Mereka saja terpukul atas kejadian malam ini, apalagi aku yang berada di posisi sedang menjalani. Aku tersenyum menatap Tia dan Diar. Aku butuh sendirian di dalam kamar. Mereka pasrah dan mengikuti kemauanku untuk ditinggal sendirian.

Diar menutup pintu kamar. Tatapan kosong menyertai kepergian mereka berdua. Aku melangkah ke atas tempat tidur. Berbaring menatap langit kamar. Cahaya lampu terang benderang tapi yang terlihat bagi mataku hanya gelap gulita tanpa cahaya.

Semua orang pasti terkejut soal berita pertunangan Tama. Aku tidak ingin ada yang tahu Tama bertunangan bukan karena aku masih ingin menemuinya. Tapi aku tidak mau semua mata memandang iba dan prihatin. Seolah aku perempuan paling malang di seluruh dunia.

Paling tidak ku sukai adalah dipandang dengan tatapan kasihan, juga tidak suka hidupku terlihat menyedihkan di mata orang lain. Aku membalikan badan, memeluk boneka besar berwarna cokelat. Membenamkan seluruh wajah di tubuhnya yang lembut. Suara jeritan menyakitkan dari mulutku terendam oleh tubuh besar boneka beruang. Lagi-lagi aku masih termakan bualan manis.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang