BAB 2# SEMUA SEAKAN SIA-SIA

44 2 2
                                    


Aku dan Tama berpisah tanpa mengucapkan satu kata pun. Aku sudah tidak sanggup berbicara. Begitupun Tama. Bibirnya membiru dan matanya sembab dia mungkin sudah menangis lebih dulu dari pada aku.

Mengucapkan selamat tinggal rasanya tidak sanggup. Jadilah kami hanya berpelukan sebentar. Dan dia mencium keningku lama sebelum aku keluar dari mobil. aku berjalan linglung menuju kamar kos. Beruntung hari ini hari libur. Kebanyakan penghuni kos pulang ke kampung halamannya. Sisa aku dan Tia. Aku melangkah ke kamar Tia. Terlihat di sana perempuan kecil yang sedang asyik bermain dengan ponselnya.

"Tia." Panggilku pelan. Tia menoleh. Dia tertegun sebentar.

"Kamu kenapa, Ra." Dia menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.

Wajah mungil Tia terlihat menggemaskan. Seandainya keadaanku baik baik saja. Aku pasti tertawa melihat Tia. Aku melangkah masuk ke dalam kamar Tia. Menutup pintu kamarnya pelan. tangis ku pecah di dalam kamar Tia. Dia yang tidak tahu apa apa hanya melihatku menangis.

"Ada apa, Sora." Tia mengguncangkan tubuhku.

"Kamu kenapa?" Dia bertanya penasaran. Wajahnya mulai ikut memerah menahan tangis.

"Aku putus dengan Tama. Dia akan dijodohkan Tia," ujarku lirih. Tia terdiam lama. Air mata Tia jatuh. Dia menangis. Sahabatku menangis.

"Bagaimana bisa?"

Pertanyaan yang sama terlontar dari mulut Tia. Aku hanya menggelengkan kepala tidak sanggup bercerita apapun.

Aku hanya ingin menangis saja. Aku hanya ingin memberitahukan beban berat ini ke orang lain. Tia memelukku erat. Kami menangis berdua. Sura tangisanku meraung keras memenuhi lorong-lorong kamar kos yang sepi ditinggal penghuninya. Satu jam aku menangis. Tia hanya sesenggukan sambil lalu mengusap bahu ku. Kehangatannya membantu ku merasa lebih baik. Meski tidak bisa membuat keadaan berubah.

"Aku ke kamar dulu."

Aku menyeka air mata di pipi. Tia mengangguk. Dia mengantarku ke kamar.

"Diar kemana?"

Tia bertanya teman sekamarku. Dan juga sahabat kita. aku hanya menggelengkan kepala. Rasanya lelah sekali. Sudah banyak tenaga yang ku habiskan dengan menangis setengah hari ini.

"Baiklah. Istirahat, Sora. Tidur dulu setidaknya itu membuatmu lebih membaik."

Tia beranjak dari tempat tidur. Berjalan ke arah saklar lampu. Dia mematikan lampu.

Aku membalikkan badan. Melanjutkan tangis yang tertunda. Kenapa ini harus terjadi padaku, bukankah di luar sana masih banyak orang lain yang mampu? Kenapa harus aku? Pertanyaan itu bermunculan dipikiran bersamaan dengan rasa pusing yang menjalar dari leher bagian belakang. Aku memutuskan untuk tidur.

Samar samar aku mendengar pergerakan di samping tempat tidur. Siluet bayangan seseorang sedang duduk di samping tempat tidur. Itu Diar. Teman kamarku selama empat tahun berada disini. Ia tengah bermain ponsel. Diar menyadari aku yang sudah bangun dari tidur. Tidak ada percakapan yang terjadi.

Aku menghindari kontak mata dengannya dan Diar peka kalau aku tidak ingin diajak bicara. Ia kembali sibuk bermain dengan ponselnya. Diar ikut tidur di sampingku. Aku membelakanginya. Kembali merenungi banyak hal. Diar pasti sudah tahu ceritaku dari Tia. Tanganku mencari hp yang tadi terletak di samping bantal.

10 pesan masuk dari Tama. Aku membuka dan membacanya. Kami baru saja mengakhiri hubungan. Tapi aku masih belum siap melepaskannya begitu saja. Dia orang yang sangat berarti dan mungkin tidak bisa tergantikan.

"Sora."

Diar membangunkan ku.
Menggerakkan tanganku pelan.

"Sora, hari ini kamu tidak ke kampus?"

Diar bertanya. Aku memicingkan mata. baru sadar dari tidur.

"Sudah jam berapa?"

Sejak kemarin hingga pagi ini aku habiskan dengan tidur dan menangis. Tidak ada keinginan beranjak sedikitpun.

"Sekarang masih jam 08:02."

Diar memperlihatkan jam digitalnya. Aku mengeluh kecil.

"Jika kamu masih belum baikkan. Bisa datang besok," sambungnya lagi.

Diar sudah terlihat rapi. Siap berangkat ke kampus seperti yang lainnya. Suara di luar sudah ramai. Anak anak kos kembali beraktivitas seperti biasanya. Aku memperhatikan Diar dengan seksama.

Membandingkan hidupku dengannya. Diar lebih beruntung dari pada aku. Diar orang berada. Punya pasangan yang baik hati dan hubungan nya berjalan lancar. Hidupnya jauh lebih mudah dari pada aku sepertinya. Meski Diar sering mengeluh tapi ia cukup beruntung.

Aku memutuskan untuk tidak ke kampus dalam waktu dekat ini. Juga mengirimkan pesan ke teman teman organisasi bahwa untuk saat ini aku tidak bisa ikut andil dalam kegiatan apapun.

Aku butuh waktu untuk sendiri. Tidak ingin bertemu siapa pun. Terlebih bertemu dengan orang-orang yang nantinya mengingatkanku terhadap Tama. Meski komonikasi aku dengan Tama baik. Tetap saja aku tidak bisa bertemu dengan orang lain dengan keadaan menyedihkan.

Dunia masih terus berputar. Kehidupan di dalamnya juga terus berjalan. Tidak ada yang peduli dengan kesedihanku. Tidak akan ada yang tahu bahwa di ujung bumi ini ada satu manusia yang kehilangan separuh hatinya, terbawa oleh seseorang yang dia anggap sebagai masa depan.

Diar dan Tia juga sedang sibuk dengan tugas akhir mereka menjelang kelulusan. Bertemu dosen untuk bimbingan. Berangkat lagi untuk mengerjakan tugas bersama teman yang lain. Terus seperti itu siklus hidup di sekitarku.

Mereka berjalan sesuai putaran takdirnya dan hanya aku dan hidupku yang berhenti di sini. Rasanya aku tidak punya tenaga untuk berjalan bersama mereka.

Tiga hari berlalu sejak kejadian hari itu. Aku terus berbaring di tempat tidur kecuali hendak ke kamar mandi. Hampir dua hari perutku tidak terisi asupan sama sekali. Biasanya seberat apapun masalah yang aku hadapi. Aku tidak bisa meninggalkan makan. Tapi kali ini aku tidak berselera untuk itu. Sampai Tia dan Diar khawatir. Mereka tidak biasanya melihatku seperti sekarang. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkanku sendirian menikmati setip proses rasa sakit.

"Minggu depan ada test Toefl, Sora."

Diar memberitahuku setelah dia pulang dari kampus.

"Jadwal mu hari Rabu sesi pertama," sambungnya.

"Aku mau keluar sebentar. Kamu mau nitip makanan?"

Selama aku berdiam diri di kamar. Diar tidak berhenti menanyakan apakah aku mau makan, apakah aku sudah mandi?. Aku menggelengkan kepala. Tidak ingin menitip apapun. Diar menghela nafas pasrah. Lalu beranjak keluar dari kamar. Samar-samar dari luar terdengar percakapan. Suara Diar dan Tia.

Hari rabu depan aku harus memaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidur. Pergi ke kampus mengikuti test Toefl yang diadakan oleh kampus. Membayangkan saja rasanya tidak sanggup. Aku tidak mau mengingat kenangan di setiap sudut jalan yang akan terlewati. Juga tempat-tempat di kampus yang biasa aku dan Tama datangi. Ketika berpisah dengan seseorang yang sudah bersama sejauh ini.

Seluruh tempat yang pernah kita singgahi selalu memiliki sepotong kenangan yang amat menyakitkan untuk diingat. Kenangan yang akan membekas meski ceritanya sudah kandas. Rasa sakit akan semakin tampak nyata saat tak sengaja ada orang lain yang mengingatkan dengan hal yang pernah kita lakukan bersama. Namun kali ini yang tersisa dari ceritaku dan Tama hanya bayang-bayang.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang