BAB 28# WAJAH CANGGUNG

7 1 1
                                    

"Terima kasih sudah mengantarku pulang Joy. Maaf merepotkan."

Kami pulang setengah tiga dini hari. Udara dingin jam dini hari mengatakannya. Wajah lesu dan kusut menghiasi kepulangan dari cafe. Mataku yang sejak tadi panas. Menahan lelah dan kantuk saat berada di cafe. Kini mulai terbuka lebar. Rasa kantuk yang bergelantungan hilang dari kelopak mata.

"Wah, perkataanmu membuatku tersinggung, Sora," ungkap Joy. dia terkekeh kecil.

"Harusnya aku yang meminta maaf dan mengucapkan terima kasih terlebih dahulu."

"Kalian tidak akan pernah pulang dan masuk. Jika masih berdebat akan hal yang tak berujung seperti itu," celoteh Tia. Ia menegur. sejak tadi menunggu kami selesai bicara dan tak sengaja mendengarkan percakapan ku dan Joy.

"Aku besok harus pulang pagi sih." Andre menimpali sambil tersenyum segan. Takut menyinggung kami.

Dia benar jarak antar kota kami lumayan jauh. Butuh waktu satu jam lebih untuk tiba. Dia besok ada kuliah. Harus pulang lebih awal.

"Maaf membuat kalian terganggu," kata Joy malu-malu. Melihat wajah kikuk Joy karena baru pertama kalinya mereka berinteraksi sedekat sekarang. Juga baru pertama kalinya Joy bertemu dengan Tia sekaligus pacarnya.

"Baiklah, kami pamit pulang dulu, Ra."

"Jaga baik-baik pacar ku, Joy," kata Tia mengingatkan Joy. Seakan pacarnya anak kecil yang butuh penjagaan. Joy dan Andre pamitan pulang. Aku dan Tia kembali masuk ke dalam kamar masing-masing.

Kamar yang gelap gulita menyambut diriku. Di atas tempat tidur seorang perempuan sebayaku sedang istirahat. Tertidur pulas. Aku berjalan pelan menuju meja rias. Berusaha agar tidak bersuara takut Diar terbangun. Meletakkan barang barang bawaan. Selesai meletakkan, aku berjalan ke arah tempat tidur. Ikut merebahkan diri juga, di atas tempat tidur samping Diar.

Tapi mata tak kunjung terpejam meski tubuh rasanya letih. Kebiasaan jika lewat tengah malam dan aku masih belum tidur. Dapat dipastikan aku tidak akan bisa sama sekali memejamkan, untuk tidur. Dari pada aku begadang tidak jelas semalaman dan membuang waktu berharga sia sia. Jadi memutuskan untuk membuka laptop kembali dan mengerjakan revisian yang sudah hampir selesai. Sekaligus memeriksa lebih detail takut ada yang salah.

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 4 dini hari. Layar laptop masih menyala menampilkan deretan kalimat yang berjejer rapat seperti semut. Aku menutup laptop. Harus beristirahat terlebih dahulu sebelum pagi tiba. Nanti siang aku akan ke kampus. Bertemu dos pem.

Beristirahat sebentar adalah solusi supaya aku bisa bertahan dari serangan kata-kata mutiara. Sebelum hendak tidur aku mengatur alarm yang akan berbunyi jam 8 pagi. Semakin pagi bangun, aku semakin punya kesempatan menghubungi Pak Husain dan bertemu beliau.

*** ******
Janji temu dengan dosen pembimbing jam satu siang nanti. Tapi aku sudah berada di kampus sebelum jam janji temu. Jaga-jaga takut ada pemberitahuan tidak terduga. Sambil lalu menunggu, aku mengoreksi semua revisian. Membacanya satu persatu sebelum dijadikan tumpukan kertas. Takut ada beberapa poin yang salah.

Kebiasaan mengoreksi ulang sebelum bimbingan harus dilakukan supaya setelah jadi tumpukan kertas nanti tidak ada kesalahan kecil di dalamnya. Karena kesalahan kecil tersebut yang mengakibatkan dos-pem lebih murka dari pada kesalahan besar. Mengakibatkan dicoret habis habisan. Direvisi masal.

Langkah kaki berlarian kecil. Menuruni tangga yang agak curam. Sesekali berpegangan takut jatuh. Terpeleset. Tangan memegang erat buntalan kertas di atasnya tertulis besar tiga huruf keramat yang dikejar dan diperjuangkan oleh mahasiswa seluruh negeri. ACC.

Ekspresi wajah yang cemberut berubah bersemangat. Seolah baru pertama kali merasakan kebahagiaan abadi dalam hidup. Perkataan teman-teman tadi malam sepenuhnya terkabulkan. Hari ini skripsi milikku di ACC oleh dos-pem.

Sepanjang jalan pulang. Aku berjingkrak riang. Memandangi tulisan ACC. Walaupun begitu masih sisa satu tahap lagi, yaitu sidang. Salah satu yang menentukan jalan takdir sebagai mahasiswa.

"Kapan sidang?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Tama.

"Baru mau daftar sidang besok."

Seulas senyum mengembang diantara kedua bibir. Membayangkan raut wajah Tama yang juga bahagia mendengar berita skripsiku telah di ACC. Kami lagi berbicara melalui telepon. Tama sangat sibuk hari ini untuk menemui ku secara langsung.

"Kamu mau minta hadiah seperti apa untuk hari sidang nanti?" Tama kembali bertanya. Pertanyaan yang membuatku semakin antusias, menunggu hari sidang.

"Minta hadiah kamu bersedia membersamai ku hingga tua, boleh tidak?" semburat warna pink menghiasi pipi. Tama tidak bisa melihat tingkahku yang seperti orang ke gatelan.

"Kamu tidak perlu meminta untuk hal itu. Seluruh hidup dan diriku adalah milikmu. Hanya sekedar menua, membersamai hingga kita tak lagi menatap dunia, aku sanggup."

Kalimat Tama selesai terucap. Gelak tawa kami pecah tak tertahankan. Rasanya menggelikan mendengar gombalan lebay anak ABG. Tapi itu membuat perasaan kita tervalidasi.

Menunjukkan bahwa perasaan kita sama. Sama sama di jalan yang se arah. Tanpa perlu mencari jawaban-jawaban di antara perasaan satu sama lain. Kita sudah menemukan warna yang sama. Senyum simpul tersungging di bibir. Aku harap tidak ada lagi kekecewaan yang tercipta karena perasaan cinta yang kita miliki.

Berkas-berkas persyaratan untuk pendaftaran sidang berserakan. Menutupi meja kecil di ruang tunggu kos. Persiapan untuk pendaftaran terkesan ribet meski berkas yang harus kami penuhi tidak begitu banyak. Selain itu aku juga belajar. Mencatat beberapa poin penting yang nanti akan ku presentasikan.

"Ini juga diperlukan buat sidang, Ra?" suara Tia terdengar bertanya dari balik badan. Ia mengulurkan kertas yang terjatuh.

"Oh, ini CV buat surat lamaran pekerjaan," jelas ku singkat. Tentu saja aku juga telah mempersiapkan langkah selanjutnya selepas wisuda. Dan mendapatkan gelar sarjana.

"Wah, kamu keterlaluan, Sora. Sudah sejauh mana persiapanmu. Jangan jangan kamu jauh meninggalkanku sendirian?" tanya Tia menyelidik. Ia duduk di sofa yang kosong. Tak jauh dari tempat ku berada. Meletakkan CV yang terjatuh.

"Aku tak sempat yang mau memberitahukan."

Menggerakkan laptop menghadap Tia. Menunjukkan beberapa email yang sudah terkirim beberapa minggu lalu ke kantor-kantor yang tengah membuka lowongan pekerjaan.

"Aku sudah mengirim beberapa surat lamaran pekerjaan. Hanya tiga yang sudah memanggilku untuk interview dan itupun sampai sekarang belum ada kejelasan."

Menyandarkan tubuh ke sofa. Memejamkan mata. Merilekskan pikiran yang khawatir setelah lulus aku tidak punya pekerjaan tetap.

"Wah... kamu sudah melangkah sejauh ini, dan baru bilang sekarang." Tia melemparkan bantal kecil ke arahku.

"Semoga dari salah satu yang kamu kirim menjadi rezekimu, Ra." Dia menatapku penuh ketulusan.

"Kamu juga semangat nanti jadi ibu guru," ujarku.

Sejak awal kuliah Tia memang masuk jurusan yang sesuai passionnya. Menjadi salah satu tenaga pendidik. Dia juga memiliki yayasan. Anak kepala sekolah. Masa depannya terjamin, yaitu menggantikan posisi ayahnya. Beda denganku yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menemukan setitik cahaya masa depan, yang entah datang menghampiri atau butuh dikejar.

"Tentu saja. Aku akan menjadi ibu guru tauladan untuk anak-anakku bersama Andre." Tia tersenyum lebar. Sambil tangannya memeluk diri sendiri. Membayangkan betapa bahagianya masa depan dirinya dengan Andre.

"Semoga kalian berjodoh," gumamku kecil.

"Harus!!" Tia bersemangat saat mengucapkannya.

"Besok daftar sidang bersama, Ra." Kata Tia. Pikirannya tak lagi berfokus tentang hidup bersama Andre.

Syukurlah Tia cepat sadar, kalau ada hal lebih penting yang sedang menanti kita. Aku menyetujui ajakan Tia. Sidang sudah berada di depan mata. Tinggal menghitung hari untuk Yudisium dan Wisuda. Dan hanya sisa sepersekian hari untuk kami bersama di tempat yang telah mempertemukan dan mempersatukan kami selama empat tahun.

LIFE AFTER BREAK UP [Setelah Hari Berganti]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang