Menahan Malu

0 0 0
                                    

Setelah selesai bermain basket dan berganti baju, Vanissa pamit pulang bareng Sasti karena mau lanjut kerja kelompok di rumah Sasti. Biasanya kalau tak dijemput Om Galang, Vanissa juga suka nebeng motornya Elroy yang pasti kumpul di rumah setiap pulang sekolah, kecuali kalau ada urusan atau keperluan mendadak lain. Seperti kali ini, sayangnya  Elroy terpaksa harus mengantar pulang Victoria yang mendadak pusing dan secara nggak langsung merengek minta tolong pada Elroy yang pas sedang kosong dan lagi nggak ditebengin Vanissa juga. Sementara Edith dan Devon harus mengantar ceweknya pulang dulu baru nyusul ke rumahku. Aku yang langganan diantar Juna, udah siap nunggu di depan motornya supaya bisa segera pulang ke rumah untuk istirahat. Tapi, ternyata Juna malah ijin kebelet pipis dulu dan harus balik lagi ke toilet di dalam sekolah.
Saat sedang menunggu di parkiran motor depan sekolah terlihat Airlangga dan Shane sedang berjalan ke arah parkiran motor. Saat mereka mulai mendekat, aku sempat bingung mau bereaksi apa karena aku tau mereka tapi tidak terlalu mengenal mereka. Sewaktu aku memutuskan untuk tersenyum pada mereka, tiba-tiba Shane menunjuk ke arah tasku yang ternyata setengah terbuka sehingga sesuatu nampak menyembul dari dalam tasku dan akhirnya terjatuh di depan mereka yang jadi ikutan kaget. Betapa malunya aku ketika sama-sama bengong melihat bungkus pembalutku sudah berada di tanah yang hampir diinjak oleh Shane. Lalu, aku cepat-cepat mengambilnya dan memasukannya kembali ke dalam tasku dengan muka memerah menahan malu dibarengi pecahnya tawa Airlangga sehingga membuatku seperti ingin segera hilang dari situ sekarang juga.
Untunglah Juna segera muncul dan bertanya dengan heran padaku sekarang. "Hei! Kenapa muka kamu merah banget, Re? Sorry, rada lama tadi soalnya sekalian setoran besar nih. Haha...," ucapnya malah ikutan ketawa. Aku sempat melihat Shane menyikut lengan Airlangga supaya berhenti tertawa dan mengalihkan perhatian Juna dengan segera pamit padanya. "Duluan ya, Jun!" ucap Shane melewati kami berdua sekarang. "Oh, ya, Shane. Hati-hati!" balas Juna sambil memakai helmnya kali ini  sementara Airlangga masih terdengar menahan tawanya sambil berlalu meninggalkanku yang jadi benar-benar kesal dibuatnya. Untunglah Shane nggak ikut-ikutan menertawaiku habis-habisan seperti sobatnya itu. Dengan cepat aku segera meraih helm yang disodorkan Juna dan menaiki motornya dengan hati dongkol.
Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara masih dengan perasaan tak enak karena tadi  harus menahan malu di depan orang yang salah. Sepertinya aku tak suka pada sikap Airlangga yang sudah sungguh sangat menyebalkanku tadi. Masa dia sengaja ketawa keras-keras supaya orang pada tau sehingga membuatku jadi malu. Itulah mungkin awal ketidaksukaanku pada Airlangga yang katanya suka berulah dan berbuat onar itu.
Juna yang mulai menyadari kebisuanku mulai bertanya, "Koq diam aja sih dari tadi? Tumben amat. Lagi 'dapet' ya!" tembak Juna sehingga membuatku makin nggak mood mendengar perkataannya tadi. Aku hanya mengangguk cepat merespon pertanyaannya itu. Biasanya aku memang tak terlalu banyak bicara ketika sedang sakit apalagi datang bulan karena perutku yang suka mulas tak karuan. Untungnya kali ini bukan perutku yang sakit tapi hatiku akibat kejadian tak terduga di parkiran tadi. Tapi aku tak menyangka ternyata Juna cukup mengenal dan memperhatikanku juga selama ini. "Wah, berarti harus cepat-cepat nyampe nih ya!" kata Juna sambil mempercepat laju motornya. "Eh, pelan-pelan aja, Jun! Ntar malah jadi celaka lagi," kataku mencegahnya lebih ngebut lagi di jalanan yang keliatan lengang.

FRIENDSHIPWhere stories live. Discover now