Kerinduan Juna

0 0 0
                                    

Saat tiba di atas panggung, Arjuna, cs nampak agak kaget melihat perubahan gaunku, kecuali Edith yang langsung mengambil posisi supaya bisa memulai penampilan spesial persembahan dari band kami di acara pernikahan abangnya itu. Sepanjang lagu yang kami bawakan, pasangan pengantin baru itu terlihat sangat menikmati suguhan lagu-lagu favorit mereka berdua yang sengaja Edith pilihkan sebelumnya. Sesekali mereka ikut terhanyut menyanyikan lagu-lagunya. Edith yang sangat sayang pada saudara laki-laki semata wayangnya itu pun terlihat begitu bersemangat saat memainkan musik melalui drumnya dengan penuh perasaan. Aku pun jadi tertular dengan berusaha memberikan penampilan terbaikku bersama yang lainnya. Hatiku puas bercampur lega bisa mempersembahkan nyanyian spesial kesukaan kedua mempelai yang tampak bersukacita sekarang. Untunglah aku tetap bisa membawakan lagunya dengan penuh penghayatan walaupun sempat  diselingi dengan kisah tak terduga yang sayangnya harus terjadi padaku sebelumnya.
Selanjutnya, aku dan Edith segera kembali ke toilet setelah sukses menyuguhkan penampilan terbaik kami khusus untuk kedua pasangan pengantin yang sedang berbahagia. Saat kami sampai di sana, ternyata duo V yang lain udah berada di dalam toilet menemani Valentina yang wajahnya nampak makin masam saja. Karena Edith nggak bisa masuk sembarangan ke dalam toilet ini, ia hanya bisa menunggui kami selesai bergantian gaun kembali seperti semula di depan pintu. Saat aku masuk ke toilet, aku bisa merasakan tatapan penuh kebencian dari trio V khususnya Valentina yang tak menyia-nyiakan waktunya dengan terus berbisik memakiku habis-habisan selama bertukar pakaian.
"Gue nggak bakalan biarin kamu gitu aja, Re! Tunggu aja pembalasan dari gue secepatnya!" ancam Valentina masih dengan suara tertahan karena nggak mau sampe kedengaran oleh Edith yang masih menunggu di luar toilet. Aku memilih tetap diam membisu menanggapi semua omelan Valentina tadi sehingga memicu reaksinya yang jadi melempar kasar gaunku ke arahku yang daritadi udah nggak sabar juga menunggunya. Dengan cepat aku memakai kembali gaunku yang masih setengah basah supaya bisa segera keluar dari suasana nggak nyaman di tengah trio V alias trio Villain yang udah kaya di kandang serigala berbulu domba ini.
Setelah berganti gaun, kami semua keluar toilet disambut oleh Edith yang nampak langsung berterimakasih pada bantuan darurat pacarnya yang telah berjasa karena berhasil menyelamatkan penampilan band Arjuna, cs beberapa saat yang lalu itu. Dengan senyuman licik penuh kemenangan Valentina bergelayut manja di lengan Edith sambil menatap ke arahku dengan pandangan mengejek. Aku pun terpaksa berterima kasih padanya atas pinjaman gaunnya tadi di hadapan Edith yang mukanya kembali sumringah karena semuanya akhirnya bisa berjalan dengan lancar di pernikahan abangnya itu. Andai saja dia tau apa yang sebenarnya telah terjadi antara aku dan pacarnya itu. Namun, seperti yang kubilang sebelumnya aku nggak mungkin tega merusak kebahagiaan orang-orang terkasihku, termasuk Edith. Oleh karena itu, aku hanya bisa mengalah dengan menyimpannya dalam hati saja supaya keadaan nggak kacau jadinya.
Wajah trio V nampak sangat senang saat aku terpaksa pamit pulang duluan pada Arjuna, cs yang nampak masih bingung dengan perubahan mendadak gaunku pas manggung tadi. Namun, aku beralasan ketumpahan limun saat ke toilet supaya nggak ada pertanyaan lebih lanjut lagi karena aku khan nggak mungkin jelasin detail sebenarnya juga pada mereka. Setelah pamitan pada keluarga Edith, aku segera pulang bareng Juna yang tiba-tiba aja bernisiatif mengantarku. Saat berjalan menuju parkiran motor, Juna tiba-tiba bertanya lagi tentang perihal gaunku tadi.
"Koq bisa sampe basah gitu sih? Seriusan ketumpahan limun nih? Perasaan tadi gelasnya udah kosong deh pas kamu taruh di meja sebelum ke toilet," tanyanya kurang percaya dengan penjelasanku sebelumnya.
"Lhaa...emang beneran ketumpahan limun koq tadi," jawabku irit terus mencoba menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
"Ya, aneh aja gitu. Karena tadi khan emang sempat mau tumpah tuh limun ke gaun loe waktu gue muji kecantikan loe, Re. Tapi, karena nggak jadi tumpah nah terus keburu dihabisin limunnya sama kamu. Berarti loe minum lagi kali ya setelahnya?" sambungnya lagi mencoba mengingat-ingat kejadian sebelum berpisah dengannya waktu mau ke toilet tadi.
Aku hanya mengangguk singkat nggak jelas merespon pertanyaannya sambil buru-buru memakai helm supaya nggak terlalu banyak bicara lagi pada Juna yang keliatannya agak curiga. Selain komentator yang jujur, Juna juga punya insting dan firasat yang cenderung kuat apalagi pada orang-orang terdekatnya. Ia bisa sangat peka dan perhatian jika ada yang tak biasa atau janggal di matanya. Oleh karena itu, aku berusaha keras untuk menyembunyikan ekspresiku dengan bersikap biasa aja di hadapannya kali ini.
Selanjutnya aku udah ada di boncengan Juna menuju ke suatu tempat yang biasa kami kunjungi setiap kali Juna mau cerita sesuatu padaku. Sepertinya udah cukup lama juga aku nggak dengar curhatan darinya. Pantesan aja tadi pas masih di gedung resepsi dia tiba-tiba langsung berinisiatif mengantarku pulang. Ternyata dia mau mampir dulu ke warung susu murni atau yang biasa kami singkat jadi "sumur", tempat nongkrong favorit sekaligus langganannya. Letaknya nggak begitu jauh dari rumah nenek Juna, tempat dimana Juna tinggal selama ini setelah ditinggal kedua ortunya sejak kecil. Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan Juna sehingga ayah Juna kembali menikah dan tinggal di luar kota bersama keluarga kecil barunya. Oleh karena itu, ayahnya terpaksa menitipkan Juna pada neneknya yang merawat dan membesarkan Juna sampai saat ini. Namun, sesekali ayahnya masih sempat datang berkunjung untuk menengok Juna. Warung sumur inilah tempat Juna biasa ditraktir ayahnya sejak masih kecil. Mungkin karena kami sama-sama anak piatu, kami jadi lebih mengerti satu sama lain. Setelah sampai di sana, Arjuna langsung memesan susu murni coklat kesukaannya. Sementara itu, aku yang biasanya langganan minum susu murni stroberi malah penasaran mencoba susu murni dengan varian yang baru dan berbeda yaitu rasa mocha sehingga membuat Juna sedikit bingung dengan pilihanku yang nggak biasanya.
"Wah, tumben koq pilih rasa yang lain, Re? Biasanya juga pesen stroberi melulu tiap kali ke sini. Apa karena penampilannya lagi berbeda juga kali ya makanya ngaruh ke pesanannya juga gitu? Haha," komentar Juna mulai usil menggodaku.
"Yeee...apaan sih pake disambung-sambungin segala, Jun? Emang lagi pengen yang lebih manis aja nih," kilahku sambil agak bergidik karena embusan angin malam yang mulai dingin menerpa tubuhku sehingga membuat Juna berinisiatif melepaskan jas pemberian ayahku yang masih rapi dikenakannya daritadi.
"Nih dipake biar nggak kedinginan, Re!" tawarnya seraya menyerahkan jasnya tadi ke arahku yang mulai menggigil di tempatku sekarang.
"Wah, makasih ya, Jun!" ucapku tak berusaha menolak perhatiannya kali ini seperti biasanya.
"Sorry, nggak langsung antar loe pulang soalnya ada yang mau gue ceritain nih. Biasalah tentang bokap gue, Re," jelasnya to the point.
"Iya, gue udah tau koq, Jun. Setiap kali loe ajak gue ke sini juga gue udah hapal. Pasti loe lagi dilanda kangen ya sama bokap loe sekarang?" jawabku juga tembak langsung.
"Emang yah loe tuh yang paling ngertiin gue selain nenek gue pastinya. Haha," pujinya masih sempat ketawa.
"Iya dong pastinya. Regina Ishakasih gitu loh! Jadi, gimana ceritanya nih?" lanjutku malah ikutan memuji diri sendiri sambil mulai mendesaknya untuk segera cerita.
"Hmm...belakangan ini gue nggak bisa tidur nih gara-gara rindu banget sama ortu gue, khususnya bokap. Apalagi waktu dikasih setelan jas sama bokap loe. Asli gue tiba-tiba jadi baper dan inget sama bokap gue, Re. Tiba-tiba rindu gitu kepengen banget ketemu. Mana tadi juga baru aja liat momen bahagianya keluarga besar Edith yang keliatan akrab dan hangat banget lagi. Makin jealous campur mellow lah gue jadinya, Re. Parah ya! Koq gue tiba-tiba jadi cengeng dan alay gini sih ya bawaannya? Haha," curhatnya panjang lebar mencoba menyembunyikan kesedihannya itu lewat senyuman kecut di bibirnya.
Kemudian, pesanan susu murni kami pun tiba-tiba datang sehingga sempat menyela pembicaraan kami sejenak. Kepulan asap dari gelasnya membuat kami harus sedikit sabar menunggu sampai nanti bisa diminum.
"Kalo menurutku sih wajar aja kalo loe rindu, Jun. Khan loe emang udah cukup lama juga kali ya nggak ketemu bokap loe. Kayanya terakhir cerita tentang pertemuan dengan bokap loe tuh hampir sebulan kemarin khan ya?" kataku mencoba mengingat sekaligus memastikan.
"Betul. Makanya gue bingung banget bokap kemana sih? Emang nggak ada waktu banget gitu buat ketemu anaknya barang sebentar aja? Beneran udah mau sebulan loh ini, Re. Tapi, belum ada kabar juga dari bokap gue sampe sekarang dong. Aneh nggak tuh!" lanjutnya dengan nada kecewa.
"Ya, kenapa loe nggak cari tau langsung aja dengan coba hubungi beliau biar lebih jelas, Jun? Kenapa harus pake gengsi nunggu-nunggu nggak jelas segala selama ini. Beliau khan bokap loe jadi wajar dong kalo loe dilanda malarindu kaya gini. So, just take action first!" tantangku sehingga membuatnya agak kaget mendengar perkataanku barusan.
"Hah? Becanda loe, Re! Masa gue yang harus nyari dia duluan? Dimana-mana itu bapak yang harusnya nyariin anaknya lah. Itu berarti dia udah nggak peduli dan perhatian lagi sama anaknya kalo sampai bisa ngilang tiba-tiba gini tanpa kabar berita dong," sanggah Juna sambil menyeruput cepat minuman di depannya yang terlihat masih panas itu.
"Loe tau dari mana kalo bokap loe udah nggak sayang lagi sama loe, Jun? Emang loe udah tanya langsung? Gimana kalo sebenarnya bokap loe juga rindu banget sama loe tapi keadaan nggak memungkinkan buat kalian ketemu sementara ini. Pasti ada alasan kenapa dia belum datang juga sampai sekarang khan, Jun. Makanya biar jelas mending tanya langsung ke orangnya selagi masih bisa. Inget loh nggak semua orang masih punya bokap kaya loe sekarang! Jadi jangan pernah sia-siakan  kesempatan yang ada. Just move on and call him!" bujukku lagi sehingga membuatnya menarik napas cukup panjang kali ini.
"Gue tau emang sulit dan berat banget buat mulainya, Jun. Tapi, mau sampe kapan loe stres sampe insomnia segala gara-gara mikirin bokap loe terus. Gue khan jadi nggak tega juga liatnya nih. Jadi, ayo mending dicoba dulu buat hubungin beliau kalo loe emang beneran rindu banget ya, Jun! Setidaknya harus ada usaha sih. Atau mau gue yang bantu hubungin bokap loe nih sekarang juga?" tawarku sambil melirik ke arahnya kali ini.
"Eh, nggak usah, Re! Biar gue pikirin dulu deh perkataan loe tadi karena emang ada benernya juga sih. Mungkin bokap gue lagi kesulitan juga kali ya di sana makanya jadi bingung buat hubungin atau ketemu sama gue. Walaupun masih belum jelas, gue harap bisa berani buat hubungin bokap duluan. Yah, doain aja supaya gue bisa segera move on dan bisa punya kesempatan buat ketemu sama bokap gue lagi ya, Re!" pintanya kembali menyeruput sisa minumannya yang mulai dingin.
"Ya, pastilah, Jun! Kita semua pasti bakal doain sekaligus dukung loe. Banyak yang sayang sama Juna koq. Ayahku aja malah udah anggap loe kaya anaknya sendiri dong. Eh, tapi itu berarti kita jadi sodaraan ya? Hmm, ya udah nggak apa-apa deh asal Juna bisa semangat lagi gitu. Jadi, jangan sedih dan galau terus ya! Arjuna harus kuat kaya namanya dong!" hiburku mencoba menyemangatinya kembali sambil menepuk-nepuk pundaknya kali ini.
"Dasar ya! Tapi, makasih banyak loh, Re! Kamu tuh emang selalu aja bisa buat gue jadi lebih tenang gitu. Makanya gue malah udah anggap loe lebih dari sekedar sodara sih  sebenarnya. Haha...jadi sebagai ucapan terima kasih gue bakal traktir martabak kesukaan loe deh, Re!" ajak Juna sambil menghabiskan  sisa minumannya tadi.
"Wah, seriusan nih, Jun? Pas banget emang lagi laper nih sekarang. Yah, mana susunya juga udah keburu dingin lagi karena kelamaan dianggurin daritadi," keluhku rada manyun menatap gelasku yang udah keliatan nggak lagi mengepul.
"Yaudah buru dihabisin minumannya, Re! Lagian,  kita juga nggak sempat nyicipin makanannya dulu khan ya pas di resepsi tadi. Oh, iya...ngomong-ngomong baju loe udah kering belom nih?" tanya Juna memastikan sehingga membuatku mengecek kembali gaunku yang ternyata udah kering sekarang walopun masih meninggalkan bekas noda limun akibat insiden tak terduga sebelumnya itu.
"Kalo gitu ayo kita cabut, Jun! Udah nggak sabar kepengen makan martabak manisnya nih!" ajakku sambil menyeruput habis minumanku dengan cukup cepat supaya mengalihkan perhatian Juna dari gaunku tadi.
"Ok. Let's go!" serunya mantap langsung sigap berdiri dari tempatnya duduk sambil beranjak pergi sekarang.
"Lhaa...minumannya siapa yang bayar nih?" tanyaku heran melihat Juna yang malah melenggang pergi begitu aja meninggalkanku.
"Oh, kirain loe yang mau bayar, Re? Khan gue nanti gantian yang traktir makanannya," jawab Juna cengengesan sehingga membuatku kontan terbengong-bengong mencerna perkataannya barusan.
"Haha...becanda kali, Re! Khan tadi gue yang ngajak loe ke sini. Jadi, tenang aja ya! Gue yang bakalan bayar koq. Tapi, kalo loe rela mau bayarin juga nggak apa-apa sih, Re! Diterima dengan senang hati malah," canda Juna sehingga membuatku langsung lari ngibrit keluar meninggalkannya yang malah jadi semakin terkekeh puas menertawakan kepergianku itu.
Tapi, syukurlah Juna udah balik ceria bahkan bisa menggodaku lagi seperti biasanya sehingga hatiku jadi cukup lega dan tenang melihatnya kali ini.

FRIENDSHIPWhere stories live. Discover now