"Loh mau ke mana kamu?" Tanya Layla.
Hilya melengos, menarik tasnya di gantungan baju. Tanpa peduli lirikan maut dari sang kakak yang menanti jawaban darinya.
Layla semakin mendekat, mencekal tangan sang adik yang hendak melenggang pergi. "Aku tanyain loh! Kamu selalu begini kalau lagi ngambek," sebutnya.
"Mau kerja aku, Mbak."
"Di mana?"
"Ada deh, nanti aku kasih tau kalau aku cocok. Sekarang kita gantian dulu ya? Soalnya aku suntuk kalau seharian di rumah."
Cekalan tangan Layla terlepas, wanita itu mengangguk. Ia kemudian tersenyum sinis. "Pantas aja sampai sekarang kamu gak nikah-nikah, Dek. Orang yang ada di pikiranmu cuma gimana kerjaan kamu melulu. Padahal ibuk juga makin lama susah buat gerak, harapan beliau ya lihat kamu nikah."
Lagi dan lagi pembahasan mengenai pernikahan ini membuat Hilya begitu stress. Ia heran mengapa semua orang di dekatnya terobsesi melihatnya menikah? Apakah semua wanita baru dianggap sukses saat ia telah menikah? Apakah wanita akan dianggap bahagia saat ia telah menikah? Aneh! Padahal urusan kebahagiaan dirinya adalah ia sendiri. Lagipula dengan siapa ia hendak menikah mendadak? Hubungan yang telah ia jalin selama 3 tahun ini saja sia-sia. Apalagi kalau menikah cuma-cuma dengan pria yang tak ia kenal?
Hilya menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia lalu menarik sudut bibirnya dan tersenyum manis. "Aku bakal nikah kalau suamiku kaya banget dan ganteng!"
"Ekspetasi kamu itu ketinggian, Dek."
"Daripada gak punya ekspektasi sama sekali? Kayak Mbak kan?" Balasnya santia. Lantas ia melenggang pergi meninggalkan kamarnya dan segera berlari menuju parkiran motor.
Gadis itu terkikik geli begitu teringat ekspresi dari sang kakak. Sebenarnya Layla tak begitu menyebalkan, tapi entah mengapa semenjak ia merantau, sikap kakaknya perlahan berubah.
Motornya melaju menuju ujung desa, tempat apotek kemarin yang ia kunjungi. Sebab Banyu meminta bertemu di sana. Pun ia merasa tak masalah.
Sampai di depan apotek, ia segera merapikan rambutnya dan mengoles kembali lip labm yang ia pakai. Sebab bibirnya sering kali terlihat kering.
Suara ribut-ribut dari ruang apotek menyita perhatiannya. Alisnya tertukik tajam saat melihat ibu-ibu yang mengenakan lipstik merah.
"Ah, Mas Banyu begitu. Kalau ada orang aja sikapnya sok suci. Padahal tadi Mas nempelin saya loh! Sampai berani pegang dada!" Tuduhnya.
Banyu mengerenyitkan dahi. Tapi ia tak berniat untuk membalas dengan argumen.
Ibu lainnya melirik Banyu dengan curiga. "Mas Banyu kalau mau jangan begitu caranya. Lagian kan sama-sama single, jadi bisa saling menghangatkan. Tapi nikah dulu loh!"
"Tau tuh! Mas Banyu suka genit kalau gak ada orang. Tapi kalau ada orang, nyalinya jadi ciut!"
"Saya mau juga dong daftar jadi istrinya Mas Banyu," kata ibu-ibu yang lain.
"Heh, nanti suamimu gimana?"
"Minta cerai dulu," ujarnya sembari terkekeh.
Hilya bergidik ngeri melihat ibu-ibu kisaran 40 an itu merayu Banyu. Ia melirik pada Banyu yang tampak santai dan tak merasa risih. Apa mungkin memang duda itu sedang menikmatinya?
Atau memang begitulah cara duda itu menarik perhatian wanita? Menggelikan! Jangan-jangan memang pria itu hidung belang!
Banyu menghembuskan nafasnya, saat sadar ada seorang gadis yang memperhatikannya, ia segera menoleh. "Berhubung calon istri saya sudah datang, jadinya ibu-ibu menyingkir dulu ya? Ada yang ingin saya bicarakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT PESONA DUDA 18+
RomanceSejak mendapat kabar bahwa keadaan sang ibu tak kunjung membaik, Ahilya Janita harus menelan asa yang sedang ia rajut. Kembali ke desanya yang jauh dari perkotaan dan membuatnya harus melepaskan mimpi menjadi budak korporat di gedung tinggi menjulan...