Part 7

6.8K 250 25
                                    

_Surabaya_
.
.

"Itu si Banyu emang gak ada niat buat nikah lagi, Ma?"

Tantri menggeser kacamata yang ia pakai. Wanita tua itu lalu menutup buku majalah. "Mama juga bingung, Yu. Sebenarnya yang bikin susah itu Jennie. Kalau Banyu kayaknya juga udah mulai move on."

Kakak pertama Banyu itu mengangguk, ia menguyah rujak, setelah menelannya, wanita itu lalu meneguk minuman dingin karena kepedasan. Lalu kembali melirik sang ibu yang kini sibuk pada ponselnya. "Harusnya Jennie juga dikasih pengertian. Keturunan keluarga kita harapannya ya dari Banyu. Kalau gak punya anak laki-laki lagi, siapa yang  mau nerusin?"

Kini perhatian Tantri tak lagi pada ponsel, ia menyimpan ponselnya di meja makan. Wanita tua itu berdecak, lalu melirik pada pintu tertutup rapat di ujung ruangan. Kemudian berbisik pelan, agar tak terdengar dengan sosok gadis di kamar tersebut. "Mama udah bilang begitu sama Banyu. Lagian Ambar gak bisa kasih keturunan laki-laki. Malah nggilani selingkuh pula, terus keluarganya berulah nuntut Banyu." (Jijik)

Ekspresi wajah Wyna langsung berubah, ikut merasa jijik. Ia bergidik, lalu ikut melirik pada pintu yang masih tertutup rapat. Sejak pagi memang Jennie tak keluar dari kamar itu, sebab sang gadis sedang sibuk melukis. Seperti kebiasaannya tak akan mau diganggu jika sedang melukis. "Harusnya Banyu yang trauma. Malah keluarganya ikut nyalahin Banyu dan nuntut sampai sidang kode etik begitu. Sampai sekarang udah dinyatakan gak bersalah juga masih gak mau balik ke rumah sakit."

"Mama ya sayang sama karir yang udah Banyu bangun. Tapi Banyu itu anaknya ya nerimo terus. Gak mau lawan karena ngerasa bersalah juga atas perselingkuhan yang dilakukan istrinya itu. Mana sampai hamil," ucap Tantri. Ia kemudian kembali meneruskan. "Kalau ditilik lagi ya harusnya gak bisa disalahkan Banyu juga. Dia sibuk ngejar spesialis buat keluarganya juga sama buktikan ke mertuanya. Tapi emang mereka itu culas."

Sontak ruang dapur langsung hening ketika pintu kamar yang di sudut ruangan tempat Jennie biasa melukis terbuka. Gadis itu tersenyum pada sang nenek. "Papa kapan jemput?"

"Udah sembuh Papamu? Katanya kemarin demam."

"Kata Papa udah mendingan." Jennie menggeser kursi kayu dan mendaratkan pantatnya di sana. Ikut mencomot rujak mangga muda yang dibuat oleh Budenya. "Kata Tante Hilya juga Papa udah bisa olahraga sama sepedaan."

Wyna mendongak, mengalihkan perhatian pada ponakannya. Matanya menyipit kala nama asing itu disebut. "Tante Hilya siapa? Papa kamu udah punya pacar baru? Orang sana?"

Lantas Tantri langsung menyela. "Kerja sama Banyu. Buat bantu di rumah sama temani Jennie."

Kini tubuh Wyna lebih condong mengarah pada sang ibu. "Cantik Ma?"

Tantri mengendikkan bahunya, ia hanya tahu sekilas mengenai info Hilya. Pun karena Jennie tak sengaja pernah cerita dan kemudian ia bertanya pada sang anak. "Mama gak pernah kepoin. Kata Banyu anaknya terampil juga, lulusan S2, dulu punya karir di Jakarta. Terus lepas karena ibunya mulai sakit-sakitan."

Kepala Wyna mengangguk, ia kemudian menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Jennie. Wanita itu mencolek bahu sang gadis. "Ada fotonya gak?"

Jennie tak menjawab, tapi ia segera membuka galeri dan mencari foto Hilya. Kalau tak salah ingat, ia pernah sengaja memotret wanita itu kala Hilya menyiapkan sarapan untuknya. Dan beberapa foto lagi saat Hilya sedang menyetrika bajunya. "Ini nih, lumayan cantik. Masih muda juga Tante Hilya."

"Cantik anaknya." Wyna lalu menatap mata ponakannya. "Tumben mau sama yang lebih muda. Biasanya kamu selalu nolak dan pengen si mbok terus."

"Cuma Tante Hilya yang aku kenal waktu itu. Orangnya juga gak kolot, ya udah kata Papa aku butuh pengasuh muda yang gaul. Daripada gak dibolehin tinggal sama Papa."

TERJERAT PESONA DUDA 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang