Hilya tercengang saat Adinata datang ke rumahnya selepas Maghrib membawa Pak RT serta putrinya. Selain itu ia juga membawa kerabat jauh yang tinggal di dekatnya.
Tanpa ada obrolan sebelumnya, tentu saja Hilya tak memiliki persiapan. Bahkan kini ia masih saja tercengang menyambut tamu dengan piama tidur sepanjang lengan. Untung kali ini pakaiannya sopan.
"Silahkan masuk, Pak."
"Siapa Ya?"
Hilya langsung berlari kecil menuju kamar sang ibu, tampak ibunya baru saja membereskan sajadah dan menutup buku bacaannya. "Buk, gawat!"
"Ya, opo ta?"
"Itu Pak Banyu datang sama Pak RT, bawa anak sama kerabat jauhnya juga."
Salma langsung mencubit lengan putrinya. "Ya cepat dibuat minuman loh! Bawa juga kue kering di toples dekat meja, sama bolu dikasih Mbakmu. Udah dipotong, tinggal rapiin di piring. Ibuk mau ke depan dulu, masa tamu ditinggal!"
Usai mengomel panjang, Salma langsung bergegas menghampiri tamunya yang sudah duduk di sofa. Ia tersenyum memandang satu persatu satu tamu yang tak asing baginya.
"Maaf ya Buk, saya datang tanpa bilang-bilang dan merepotkan."
"Halah! Kalau bilang-bilang malah lebih repot lagi. Harus jemput Bulik sama saudara-saudara lain, ta?" Balas Salma dengan nada bercanda.
Ia sebenarnya cukup terkejut, tapi berusaha untuk mencairkan suasana dan membuat tamu-tamunya nyaman. Lagipula bertamu pada pukul 7 malam tak begitu merepotkan.
Para tamu tertawa renyah, kecuali Jennie yang sibuk menjelajahi ruang tamu keluarga Hilya dengan matanya. Rumah itu tak terlihat semewah tempat tinggalnya dulu atau rumah Omanya, tapi terasa sejuk dan menenangkan. Ada beberapa foto masa kecil Hilya dengan keluarganya, mereka juga tampak hangat.
"Jadi begini Bu, kami datang kesini untuk mendampingi Mas Banyu yang punya niat baik sama Mbak Hilya. Beliau pengen melamar Mbak Hilya jadi istri dan mengemban tanggung jawab sebagai suami."
Pembukaan dari Pak RT membuat jantung Salma berdetak kencang. Ia sudah tahu maksudnya, tapi rasanya entah mengapa belum begitu rela. Meski pria itu menunjukkan keseriusannya dengan membawa keluarga. Walau tanpa sang ibu.
"Nah, dimakanin dulu ini ada cemilan sedikit sama teh hangat."
Hilya datang dengan baju yang lebih layak, rok rampel coklat dengan baju kemeja hitam. Membawa beberapa gelas teh hangat serta cemilan. Ia ikut duduk di samping sang ibu, menangkupkan telapak tangannya yang dingin di lutut.
"Malah disuguhi yang hangat-hangat begini. Nanti Pak Banyu ya makin betah," ujar Pak RT.
Jennie yang awalnya duduk dekat Papanya, lalu berpindah duduk di samping Hilya dan mengamit lengan wanita itu. Lantas berbisik pelan. "Aku udah mau bilang dari siang, tapi kata Papa diam-diam aja. Takut Tante nolak."
"Yakin banget Papa kamu ditolak?"
"Papa lagi masa insecure katanya."
Keduanya tergelak, membuat Salma terdistraksi dan memperhatikan kedekatan putrinya dengan putri Banyu.
"Saya sebenarnya sebagai satu-satunya orang tua yang masih ada pengennya yang terbaik buat Ahilya. Bukan berarti saya mengatakan Pak Banyu tak baik buat anak saya, cuma kan pertimbangan kedepan yang kita pikirkan. Maaf, dari segi umur tentu sudah jauh berbeda. Pun dari segi pemikiran dan pengalaman juga tak sama, saya takut nantinya ada pergesekan saat kalian berdua menjalin rumah tangga dan Hilya sulit untuk menghadapinya." Ia melontarkan kalimat kejujuran. Hal yang ia pendam selama ini saat melihat hubungan putrinya dengan Banyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT PESONA DUDA 18+
RomanceSejak mendapat kabar bahwa keadaan sang ibu tak kunjung membaik, Ahilya Janita harus menelan asa yang sedang ia rajut. Kembali ke desanya yang jauh dari perkotaan dan membuatnya harus melepaskan mimpi menjadi budak korporat di gedung tinggi menjulan...