Part 4

6.3K 228 13
                                    

Ahilya menatap langit malam di teras rumah Banyu. Ia tak tahu harus merasa senang atau malah kesal saat kakaknya begitu mendukung pekerjaannya saat ini. Bahkan wanita itu rela minta izin pada sang suami untuk menjaga sang ibu di rumah. Jadi kini Hilya menjaga Jennie di rumah ayahnya.

Kabar baiknya, ia tak perlu membuat Jennie betah di rumahnya yang tentu saja jauh berbeda dari rumah gadis itu. Tak ada AC, shower bahkan water heater.

"Tante, Papa mau ngomong!"

"Oke."

Hilya segera menghampiri gadis itu yang tengah menunggunya di depan pintu. Ia mengunci pintu rumah, lalu duduk di ruang tengah untuk berbincang lewat telepon.

"Jennie rewel?"

"Tidak, Pak."

"Jangan sungkan buat marah kalau dia kelewat batas ya?"

"Saya gak enak kalau marahin anak orang lain, Pak. Tapi saya sebisa mungkin buat nasihati."

"Jangan lupa kunci seluruh pintu dan jendela. Pagarnya sudah kamu pastikan juga terkunci kan? Saya udah nitip sama Pak Selamet buat jaga-jaga."

Hilya hanya bergumam, setelahnya telepon terputus. Ia kemudian berniat mengembalikan ponsel Jennie, tapi pesan baru yang muncul membuatnya terkejut.

Wanita itu menggigit bibirnya, bimbang antara memberitahu Banyu segera atau mengajak Jennie bicara lebih dulu. Tapi tak lama kemudian Jennie muncul membawa satu cup es cream.

"Papa suruh apa Tan?"

"Cuma kunci pintu," jawabnya sembari memberi ponsel.

Jennie mengangguk santai, ia kembali memainkan ponsel. Sesekali tersenyum geli saat membaca pesan yang muncul.

"Kamu punya pacar ya?"

"Kepo!"

"Tante pertama kali pacaran umur 18 tahun. Rasanya aneh banget, tapi seru juga karena ada teman buat jalan." Hilya melirik Jennie yang tak menyimak ceritanya. Tapi ia semakin mendekatkan diri pada gadis itu yang sedang cekikikan.

Matanya menyipit, berusaha mengintip layar ponsel Jennie yang menyala begitu gelap. Ia kemudian menghela nafas panjang saat tak bisa melihat apapun di sana. "Terus ketahuan sama orang tua dan disuruh putus. Katanya harus fokus buat sekolah dulu."

"Pasti mau ngadu ke Papa!"

"Siapa bilang?"

"Tuh, sengaja kan ngomong begitu! Lagian juga Tante lahir tahun berapa coba? Sekarang loh udah umum banget remaja kayak aku itu punya pacar."

Kalau saja gadis itu ponakannya, Hilya mungkin akan menyanggah semua ucapan itu dengan kasar. Tapi karena yang ia hadapi adalah anak satu-satunya dari Banyu Satria dan merupakan sumber pendapatannya, maka ia hanya mampu tersenyum tipis.

Mata Hilya kemudian fokus pada satu objek manusia di sampingnya. "Gak ada yang salah punya pacar selagi usianya sudah legal. Tapi karena usia kamu masih terbilang sangat rentan, jadinya Tante gak mau mewajarkan hal itu."

"Terus? Aku harus ikut nasihat Tante gitu?"

"Tante gak lagi nasihati kamu. Cuma ini opini pribadi dari Tante." Hilya mengangkat kedua tangannya. Ia kemudian beranjak. "Tidur yuk? Tante udah ngantuk banget."

"Mau bilang Papa kan!" Tuduhnya.

"Gak."

"Halah! Ngaku!"

Hilya menghela nafas. "Gak. Tugas Tante kan jagain kamu, nyiapin keperluan kamu dan dengar cerita kamu."

"Awas aja kalau berani!"

TERJERAT PESONA DUDA 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang