Hilya mengetuk pintu rumah berkali-kali, tapi tak ada sahutan ataupun respon dari dalam rumah. Ia mengerutkan keningnya, pasalnya kini sudah pukul 7 pagi dan tak ada aktivitas pagi biasa seperti yang ia lihat sebelumnya di rumah Banyu.
Bahkan garasi pria itu masih saja tertutup rapat, pun dengan jendelanya yang masih tertutup gorden.
"Assalamualaikum Pak!"
"Jen?"
Hilya menggoyangkan kakinya yang mulai terasa pegal karena berdiri. Ia lalu mencoba untuk menghubungi Jennie terlebih dahulu. Syukur panggilan pertama langsung diangkat oleh gadis itu.
"Tante Hilya di depan. Ini kamu belum bangun atau udah berangkat?"
"Aku di rumah Oma Tan. Papa emang gak bilang?"
"Papa kamu cuma bilang datangnya agak siangan aja. Tapi dari tadi Tante ketuk pintunya gak ada yang respon," jawab Hilya.
"Coba buka aja Tan. Biasanya habis subuh gak dikunci lagi. Tolong lihatin Papa, mana tau sakit."
"Oke. Udah dulu ya?"
Usai panggilan telepon berakhir, Hilya mencoba menekan handle pintu dan benar saja pintu kayu itu terbuka. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju dapur.
"Permisi, Pak Banyu!"
"Pak!"
Terdengar suara rintihan dari kamar Banyu. Sontak saja Hilya mempercepat langkah menuju pintu dan mencoba menguping.
"Pak!"
"Saya di dalam, buka aja."
Wanita itu membuka pintu kamar dan langsung saja terlihat sosok pria matang yang tengah kedinginan di bawah selimut.
"Pak Banyu sakit?" Ia mendekat, mengecek suhu tubuh Banyu. "Beneran sakit."
"Masa saya bohong? Tadi saya juga sudah cek langsung."
Hilya merengut. "Kenapa gak coba hubungi saya atau siapa gitu?"
"Karena kamu bakal datang ke sini."
"Saya bawa bibir ayam request Jennie. Tapi dia malah di Surabaya, jadi buat bapak aja." Hilya segera beranjak dan melangkah cepat menuju dapur. Menyiapkan bubur yang ia hangatkan kembali. Beserta air hangat dan buah-buahan di kulkas yang ia potong dadu.
Banyu kini telah duduk bersandar di ranjang dengan wajah pucat. "Kamu kecewa buburnya malah dimakan saya?"
"Gak."
Hilya dengan cekatan membantu Banyu untuk memperbaiki duduknya, menyelimuti pria itu dengan selimut tebal dan menyuapi pria itu dengan tenang. "Saya pikir Bapak sama Jennie tadi kesiangan. Maaf ya? Saya masuk aja karena bapak gak balas panggilan saya, jadinya ngabarin Jenni."
Banyu menerima suapan dari wanita di depannya, ia mengangguk lemah. Sampai menelan bubur itu seperempat mangkuk, ia langsung menggeleng kembali kala Hilya mau menyuapinya. "Saya mual. Kayaknya habis minum obat juga udah reda. Yang penting ada tenaga dulu."
"Oh iya. Paracetamol?"
"Itu di laci. Dari tadi malam udah meriang, cuma dipaksa mandi malah paginya jadi demam."
"Kenapa gak bilang?"
Banyu tersenyum simpul, tampaknya tenaga pria itu sudah berangsur pulih. "Nanti kamu khawatir."
"Ya khawatir dong. Soalnya gaji bulan ini kan belum keluar. Nanti kalau ada apa-apa sama Bapak, saya malah gak enak mau minta gajinya." Hilya tersenyum tipis saat melihat wajah Banyu yang merengut masam.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERJERAT PESONA DUDA 18+
RomanceSejak mendapat kabar bahwa keadaan sang ibu tak kunjung membaik, Ahilya Janita harus menelan asa yang sedang ia rajut. Kembali ke desanya yang jauh dari perkotaan dan membuatnya harus melepaskan mimpi menjadi budak korporat di gedung tinggi menjulan...