9. Pandora Box

8 1 0
                                    


"Dengar Rici! Moses tidak akan membuat ini semua mudah untukmu. Dan aku, tidak menyalahkannya untuk itu. Sejujurnya aku sangat marah padamu dengan sikap ego dan manjamu itu. Dan kumohon, setelah kau mengetahui ini semua, jadilah mandiri dan jangan meminta apapun lagi pada Ayah. Jangan bercerita apapun padanya. Simpan ceritamu untuk dirimu sendiri. Ini adalah cara, agar Ayah tidak menciptakan korban baru untuk kebahagiaanmu." Alan berdiri dari duduknya, menatap ke arah Rici dengan tatapan lembutnya. Kesedihan Rici merasuk ke dirinya. Dia mengelus lembut rambut Rici dan berjalan pelan kemudian menaiki tangga rumah dan berbelok memasuki kamar Moses tanpa mengetuk pintu itu terlebih dahulu.

"Aku tahu kau marah dan kecewa pada Ayahku dan Rici. Tapi kau juga jelas tahu, bahwa apa yang terjadi dengan orang-orang yang menjadi korban itu bukan sepenuhnya kesalahan Rici. Termasuk apa yang terjadi dengan keluarga Karina.

"Jadi, sekarang kau ingin membela Christie? Hanya karena dia sudah mengetahui semuanya?"

"Tidak Moses. Aku tidak membelanya. Kita sama sama tahu jika Ayahku adalah orang yang paling bertanggungjawab akan semua yang terjadi, bukan adikku. Rici memang manja dan sedikit egois, tapi dia memiliki hati yang ceria dan lembut. Dia sangat rapuh, hingga jika kau menyakitinya sedikit saja, maka dia akan hancur lebur. Tapi aku tidak akan pernah menyalahkan mu untuk itu, karena Rici juga perlu diberi pelajaran karena sikap egoisnya. Untuk itu, Aku tidak akan pernah ikut campur dalam urusan rumah tanggamu. Aku menyerahkan adikku padamu!"

Alan menatap Moses dengan tatapan hangatnya, dan tersenyum kecil untuk sekedar meyakinkan Moses.

"Bagaimana jika aku menyakitinya lebih dari yang kau bayangkan? Apa kau akan berhenti menjadi temanku?" Suara berat Moses terdengar, saat Alan yang sudah berbalik untuk meninggalkan kamar Moses membuat langkah Alan terhenti. Seketika jantungnya berdetak kencang. Ada ketakutan tersendiri saat suara berat itu terdengar sangat meyakinkan.

"Jika itu bisa mendewasakan adikku, aku menyerahkannya padamu! Kau suaminya, kau berhak atasnya. Tapi ingatlah, Rici adalah adikku satu-satunya, saat semua rasa sakit yang kau berikan akhirnya membuatnya menyerah padamu, aku harus menjadi orang pertama yang mengetahuinya."

Alan menghembuskan nafasnya berat saat menanggapi ucapan Moses. Entah mengapa, hatinya terasa sangat sakit. Ada perasaan tidak rela saat tahu bahwa sahabat baiknya ini akan meyakiti Rici. Tanpa menatap Moses, Alan berjalan menjauh dari kamar Moses, menuruni tangga dan melihat Rici masih duduk di ruang tengah dengan kepala menunduk. Bahunya tampak bergetar, suara halus tangisanya sedikit mengusik Alan.

"Tenangkan fikiranmu Rici. Karena kau sudah mengetahui semuanya, kurasa kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan kedepannya!"

Alan duduk kembali di sebelah Rici. Dia menatap adiknya itu dan ucapannya membuat Rici mengangkat kepalanya dan menatap Alan dengan tatapan sendu.

"Aku... Maafkan aku Alan... Aku... Aku sungguh tidak tahu...."

"Sudahlah, semua sudah berlalu. Aku bahkan sudah melupakan semuanya."

Alan menghela nafas panjang, menatap Rici yang masih menangis sesunggukan.

"Tidak, ini salahku! Aku... Apa yang harus kulakukan Alan?"

"Tidak ada lagi yang perlu kau lakukan! Cukup jalani hidupmu dengan bahagia. Karena kebahagianmu adalah kunci kebahagiaan Ayah. Aku harus pulang! Sekarang, istirahatlah dan jadilah istri yang baik." Sesaat mengatakan hal itu, Alan berdiri dari duduknya, mengelus lembut kepala Rici dan berjalan meninggalkan rumah Moses. Di sepanjang jalan menuju rumahnya Alan menangis. Menangisi nasib adiknya setelah menikah dengan Moses yang sudah memiliki berbagai rencana untuk menyakiti Rici.

Pagi tiba dengan cepat, dan Rici sudah sibuk di dapur rumahnya. Seolah apa yang terjadi kemarin malam bukanlah hal yang berat. Dia sudah bertekad, untuk menjalani kehidupan nya dengan ceria. Dia tidak akan pernah memberikan cela untuk Ayahnya dapat melihat kesedihannya dan membuat orang lain kembali menjadi korban.

Omelet tuna dengan secangkir kopi hitam sudah tersedia. Ricu tampak bangga dengan hasil masakannya. Tidak sia-sia dia belajar sejak subuh hanya untuk membuat sarapan untuk Moses. Senyum di wajahnya mengembang, saat melihat Moses menuruni anak tangga, dengan pakaian yang sudah terlihat rapi.

"Apa kau akan berangkat sekarang?" Rici mulai menyapa Moses yang telah tiba di pijakan tangga terakhir. Senyumnya yang cerah tidak lepas dari wajahnya.

Moses hanya melihat ke arah Rici sekilas dengan wajah datarnya dan melangkah ke arah pintu rumah, mengabaikan sapaan Rici.

"Aku sudah menyiapkanmu sarapan! kau harus mencobanya! aku mempelajarinya sejak subuh, kuyakin kau menyukainya!" Rici mencoba mengejar Moses dengan suara riangnya, dan hak itu membuat Moses memberhentikan langkahnya dan berbalik menatap Rici.

"Bisakah kau tidak menggangguku dengan ocehanmu? aku tidak berniat memakan masakanmu! jangan mengangguku dan habiskan sarapanmu sendiri!"

Suara tajam Moses membuat Rici sedikit terkejut. Senyum yang tadinya mengembang kini hilang dari wajahnya. Moses berjalan menjauh dan meninggalkannya dengan perasaan sakit di hatinya.

Moses memang pria yang dingin. Rici tahu itu, dan Rici sudah mengantisipasi hal itu, dia sudah selalu memberi doktrin pada dirinya jika dia akan bertahan dengan semua sikap Moses. Akan tetapi, air matanya kembali lolos hanya karena sentakan Moses yang harusnya bisa dimakluminya.

Rici berjalan dengan air langkah lesunya. Air mata yang sudah mengering di pipinya tampak membuat pipinya sedikit pucat. Dia nelihat sarapan yang sudah dibuatnya sejak subuh dengan tatapan datar. Rici mengambil sendok dan menyuap Omelet tuna yang baru dibuatnya.

"Hueekk..... ini... asin!"

seketika makanan itu keluar dari mulut Rici. Dia menatap makanan di hadapanya dengan nanar, dan akhirnya kembali menangis.

"Aku bahkan tidak bisa membuat makanan sederhana! aku memang bodoh!"

Rici kembali menangisi keadaannya. Dia membersihkan semua sisa masakannya sambil menangis sedih. Ini pertama kali Rici menyentuh dapur, dan dia sudah berusaha mengikuti semua langkah memasak yang dia lihat di buku resep masakan, tapi entah mengapa hasilnya sangat berbeda.

Moses tiba di kantornya dengan membawa roti lapis dan segelas kopi di tangannya. Dia sedikit terkejut saat melihat Alan sudah berada di ruangannya, menunggunya sambil mencoret-coret di kertas hvs kosong yang ada di ruangan Moses.

"Hi! aku sudah menunggumu sekitar 2 jam! dan lihat, aku bahkan hampir menyelesaikan coretan suasana di luar kantormu!" Alan dengan santai menunjukkan goresan pensil yang dikerjakannya sejak tadi. Goresan itu adalah suasana di luar kantor Moses, yang tampak jelas dari ruangan Moses yang memang berada di lantai tertinggi di gedung tempatnya bekerja.

"Kau harusnya tau aku tidak akan bisa datang di waktu yang sama seperti sebelumnya. Rumahku jauh, dan membutuhkan waktu paling tidak 2 jam untuk tiba di sini! apa kau perlu kuingatkan untuk itu?" Moses menjawab datar ucapan Alan, dan melangkah menuju kursinya, mendudukkan dirinya dan menatap kesal ke arah Alan.

"Ya! dan itu membuatku membuang waktu jika harus ke rumahmu! apa kau tidak merasa kelelahan jika harus berkendara sejauh itu untuk bisa ke kantor?"

"Akan lebih melelahkan jika aku berada di tempat yang sama dengan Christie!"

"Christie? Rasanya aneh jika kau menyebut Rici dengan nama lengkapnya!"

Alan tertawa kecil dan seketika tawa itu hilang setelah melihat wajah serius Moses yang memperhatikannya tajam.

"Mulai sekarang, aku akan memanggilnya seperti itu! buatku dia hanyalah wanita yang bernama Christie! Bagiku dia bukan Rici yang selalu mendengarkanku dan menggemaskan, Rici sudah menghilang bersama keegoisannya."

Unclear RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang