I : DIA

16.3K 367 25
                                    

Seandainya harus memilih
Dan bahkan jika aku punya pilihan lebih baik namun tanpa dia di dalamnya
Mungkin aku akan tetap memilih jalan ini.
Walau harus hidup tanpa hidup itu sendiri
Akan aku jalani jika ada dia di dalamnya.
Katakan saja aku gila
Dan biarkan aku melakukannya..


"Anne!!" suara melengking seorang wanita membuyarkan lamunanku. Secara refleks, kututup buku catatanku dan menoleh cepat ke sumber suara. Shela disana, sedang berjalan cepat melintasi ruangan, mendatangiku dengan wajah menyesal.

"Hai. Akhirnya datang juga. Yang lain mana?" aku menyunggingkan senyum untuk Shela. Walaupun setengah pikiran masih tertinggal di tulisan yang belum selesai.

"Mereka belum datang? Kamu sudah lama? I'm so sorry.. sebelum kesini, aku harus mengantar beberapa pesanan dulu."

Aku mengangguk pelan--masih tersenyum. Kemudian menyodorkan tissue pada gadis yang penuh peluh itu. Dengan tingkat staminanya, aku yakin berlari dari lapangan parkir saja sudah jadi upaya yang cukup melelahkan untuknya.

"Oh terima kasih." kata Shela cepat. Ia langsung menarik beberapa lembar tissue, hati-hati menempelkan tissue tersebut di setiap bagian wajahnya tanpa merusak dandanan. Aku tertawa.

Shella, gadis ceria penggila merah muda yang sejak disekolah menengah selalu dengan sabar selalu disisiku. Walaupun kepribadiannya sedikit unik, dia adalah seorang pendengar yang baik dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaanku. Jujur saja, dia mengenalku terlalu baik sampai berbohongpun takkan ada gunanya sama sekali. Bahkan tanpa bicara, kami akan saling tahu jika ada yang sedang tidak beres. Tapi satu sifat Shela yang sampai saat ini masih terus coba aku mengerti, yaitu sifat terlalu perdulinya yang tidak mengenal situasi. Well, bukan hal buruk sebenarnya. Hanya saja untuk seorang introvert sepertiku, menerima reaksi dari Shela di depan umum adalah sebuah tantangan tersendiri.

"Di hari-hari seperti ini, aku benar-benar rindu hujan."

Aku memutar mata. "Kau hanya rindu hujan ketika aktivitasmu lebih banyak diluar ruangan. Tentu saja doamu tidak akan dikabulkan. Hashtag selfish."

Shela mengangkat bahu. "Aku yakin banyak orang diluar sana yang berharap hari ini akan hujan. Kamu, misalnya." Shela berkata dalam nada bicara aneh, tapi aku tidak akan menerima umpannya. Tidak sekarang.

Hari ini aku, mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra, sedang menghadiri acara temu kangen bersama lulusan seangkatan semasa SMP dulu. Bukan sesuatu yang besar memang, tapi untukku yang hidupnya berubah sejak saat itu, hari ini adalah seperti hari mengungkit sejarah. sebuah kisah klasik masa lalu yang sesungguhnya belum menjadi kisah dari sudut pandangku. 'Kisah' adalah kata yang biasanya digunakan untuk cerita yang sudah lama selesai. Sedangkan cerita ini untukku, tak pernah memiliki ujung untuk di sebut selesai.

Seandainya saja dulu aku....

Aku menggeleng tanpa sadar. Mengusir semua renungan bisu itu. Sangat aneh untuk memikirkan itu lagi. Lebih aneh lagi karena aku merasakan perasaan yang pernah aku rasakan dalam konteks asing yang seharusnya tidak terasa seperti itu.

"Kamu sendirian? Sudah berapa lama kau duduk sendirian disini?"

Aku tidak bisa menahan senyum, tahu akan dikrikit lagi setelah menjawab. "Kau tahulah..satu jam lebih."

Shela menggeleng. "Kebiasaan. Itulah kenapa aku datang sekarang." omel Shela. "Apa judulnya kali ini?" tanya Shela, merujuk pada buku yang dipikirnya sedang aku baca tadi.

"Uhm..Finding Audrey."

"Bukunya siapa? Coba lihat."

"Sophie Kinsella." aku berkata sambil mengeluarkan novel yang semalam belum selesai aku baca. Syukurlah aku membawanya. "Bagus kok."

Shela langsung membalik buku itu tanpa melihat sampul depannya. Ia membaca sinopsis di sampul belakang. "...Hmm..14 tahun..gangguan kecemasan...romantis... Well, great!"

"Mau kupinjami setelah aku selesai?"

"Tidak, terima kasih." ia berkata tanpa menimbang, lalu melihat keluar jendela.

"Apa kau ketinggalan sesuatu?"

Shela menggeleng.

"Sedang ditunggu seseorang?"

Menggeleng lagi.

"Sedang berdoa akan hujan lagi?"

Shela memutar mata. "Aku sedang berpikir apa aku harus mengatakannya sekarang atau itu sudah tidak penting lagi.."

"Dan?" aku bertanya pada Shela setelah diam yang cukup lama.

"Terserahlah. Aku tidak tahan menyimpannya sendiri." Shela menjawab dengan nada sedikit kesal tanpa melihatku. Tangannya langsung sibuk membongkar isi tas sampirnya. "Toh sama saja."

"Apa yang kau cari?"

"Ponselku." jawab Shela. "Ada yang ingin aku tunjukkan padamu."

Aku menghela napas panjang. "Bilang saja."

"Aku ingin memperlihatkannya padamu.."

"Shela, aku tidak perlu bukti. Jadi berhenti membongkar barang-barangmu dan katakan saja."

Shela berhenti--menimbang. Ketika itu Pelayan datang menghidangkan minuman kami yang sudah kupesan sebelumnya. Aku menggeser strawberry milk shake favorit Shela ke depan. Gerakan itu memancing perhatiannya. Ia mendesah kalah sebelum akhirnya dengan pasrah ia meletakkan kembali tasnya dan menatapku. "Anne, dia akan datang." Shela berkata rendah. Matanya melebar menatapku, menunggu reaksiku.

"Dia siapa?"

"Ya dia! 'Dia' Anne.." Mata shela melotot kearahku, memaksaku mengerti ucapannya.

Baru setelah tiga detik penuh aku mengerti siapa yang dibicarakan Shela. Sebuah perasaan antisipasi datang setelahnya, ketika kata 'Dia' itu menyentuh relung hati terlarang. "Benarkah?" aku menjawab singkat. Mencoba mengabaikan antusias shela sebelum ia meledak. sementara aku sendiri mulai dijalari perasaan aneh yang sejak tadi coba kuredam.

"Ya. Dia. Aku baru mendapat kabar darinya pagi tadi. Ia berkata akan datang! Sedikit terlambat, mungkin. Tapi akan datang!"

"Ohh.." suaraku terdengar lebih menyedihkan dari yang kuperkirakan. Dan Shela menyadari itu. Tapi aku menolak menanggapi lebih lanjut. Dan seperti mengerti, Shela juga berhenti membahasnya. Bukan disengaja, hanya saja sudah lama aku tidak ingin membahas tentang pria itu lagi dengan siapapun.

Benar. Dia, luka hati yang tak pernah sembuh sejak saat pertama. Dia, bunga cinta yang tumbuh di hati sejak saat pertama. Dan dia, satu-satunya orang yang sudah mengunci pintu hatiku sejak saat pertama. Sudah berapa tahun berselang sejak saat itu? Sudah berapa waktu terlewati, tapi dia masih membuatku berdiri di persimpangan yang sama dengan tahun-tahun itu. Hanya ada satu yang berbeda kini, yaitu bahwa jalan menuju ke arahnya sudah tidak menjadi bagian dari persimpangan itu lagi.

Shela mengerti--seperti biasa. Ia hanya mendesah dan menyeruput minumannya. Kupalingkan wajahku untuk menghindari tatapan mata shela.

Dia akan datang. Lalu apa? Semua sudah berubah kini. Aku tak lagi sama dengan aku yang dulu selalu menangisinya. Cinta? Aku tak kenal kata itu lagi. Logika adalah satu-satunya yang kugunakan sekarang. Tak akan ada yang berubah. Dia sudah menetapkan langkahnya, dan aku sudah mengunci rapat pintu hatiku. Tak ada yang bisa di pertanyakan lagi. Aku berbisik lirih dalam hati. Siapa yang hendak ku bohongi?

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang