VII : Diantara

2.6K 76 5
                                    

Shela menangis. Icha tidak bereaksi apapun, tapi aku tahu dia marah. Setelah ku beritahu tentang kepergianku ke Nice, tidak ada seorangpun dari mereka yang mau memandangku lagi.

"Kapan?" adalah kata pertama yang diucapkan Shela setelah ia bisa menguasai diri.

"Minggu depan."

"Ugh." Icha hampir mengumpat lagi. "Bagus sekali."

"Kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya? Aku bisa mengajukan diri pergi denganmu."

"Jangan konyol, Shela. Ayahmu membutuhkanmu di sisinya."

"Tapi kau? Di tempat asing sendirian? Bagaiman kalau kondisimu menurun lagi?"

Mendengar Shela, kini aku sadar mereka tidak benar-benar memahamiku. Mereka berpikir selama ini kondisiku bisa memburuk kapan saja aku tidak menyukai lingkukanganku. Tapi bukan itu alasannya. Kondisiku memburuk karena aku harus dibawa kembali ke tengah-tengah rasa sakit masa lalu yang telah menyakitiku.

"Aku pikir aku akan merasa lebih baik di sana. Lingkungan baru mungkin bisa jadi obat terbaik untukku. Lagipula, aku hanya akan pergi selama 2 semester."

Shela menggenggam tanganku, matanya masih basah oleh air mata. "Rumah adalah tempat terbaik untuk semua orang, Anne. Tempat paling aman, tempat yang paling bisa memberimu kebahagiaan. Kenapa kau ingin mencari kebahagiaan di tempat lain?"

Shela salah lagi. Kebahagiaan tidak ada di luar sana, kebahagiaan ada di dalam diri kita masing-masing. Aku tidak pergi untuk mencari kebahagiaan. Aku pergi untuk mencari sesuatu yang bisa melepaskan kebahagiaan itu keluar dari tempatnya bersembunyi. "Rumah untukku, Shela, adalah tempat dimana hatiku ingin berada. Fisiknya, rumahku ada di sini, bersama keluargaku dan sebagainya. Tapi hatiku terkunci di tempat ini. Semuanya. Dan aku harus mengambil kesempatanku untuk melihat 'rumah' yang sebenarnya. Kau bisa mengerti itu?"

Icha menggeleng tidak setuju, tapi ia tidak mengatakan apapun lagi.

"Aku mengerti. Aku sangat mengerti. Aku hanya khawatir padamu.."

"Aku juga khawatir pada diriku sendiri. Karena itu aku memutuskan pergi ke sana. Berjanjilah untuk menerima teleponku kapanpun." aku ganti menatap Icha. "Bisakah kau melakukan itu?"

Shela langsung memelukku. "Tentu saja, Anne. Tentu saja."

"Apa kata orang tuamu? Jimmy?" tanya Icha, yang dalam hal ini sama artinya dengan ikut memelukku. Gadis itu punya caranya sendiri dalam mengekspresikan perasaannya. Dari luar dia terlihat kejam, tangguh, keras. Tapi jika kau mengerti bahasanya, kau akan tahu betapa lembut hatinya. Aku tersenyum.

"Terkejut, tentu saja. Tapi mereka tidak menentangnya. Ayahku berkata dia sudah tahu suatu hari aku akan memintanya. Jadi.. satu-satunya yang jadi beban pikiranku adah Alby. Tidak ada lagi yang akan membantunya menghadapi Ayah dan Ibu."

"Aku akan sering-sering mengunjunginya." janji Shela.

"Dan Jimmy?"

Aku bimbang. "Aku akan memberitahunya nanti."

"Jadi dia belum tahu?"

Aku menggeleng. "Belum."

"Sebaiknya kau cepat beritahu dia. Ini juga pasti akan berat untuknya."

"Aku tahu. Aku akan beritahu dia besok."

"Kau sudah mempersiapkan barang-barang yang akan kau bawa?" tanya Shela. Air matanya sudah berhenti mengalir sekarang.

Aku mengangguk. "Aku tidak ingin bawa banyak barang. Hanya baju dan buku. Aku berencana tinggal di airbnb."

"Sendirian?"

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang