III : Kenangan

5.7K 159 4
                                    

Kala itu aku baru mengakhiri tahun ketigaku di SMA. Aku duduk bersama Tedy di pesisir pantai di malam yang bahkan bulanpun masih malu menunjukkan sosoknya. Setelah merencanakan pertemuan palsu, Shela membuatku berkendara bersama Tedy ke tempat yang sengaja dibuat salah dari lokasi kumpul-kumpul seharusnya.

Dengan maksud mulia namun cara yang salah, Shela mengasingkan aku dan Tedy dari mata dan telinga dunia. Shela yang merencanakan pertemuanku dengan Tedy ini entah bersembunyi di mana, meninggalkan aku dan Tedy dalam suasana canggung yang hampir membuatku tercekik. Aroma asin laut bahkan tidak membantu menenangkan sama sekali.

Maksud Shela baik, aku tahu betul itu. Namun seharusnya dia membicarakan hal ini dulu denganku. Mengingat aku objek utama disini.

"Yang lain belum datang ya?" Tedy dengan lugu bertanya padaku di tengah suara desiran ombak.

Diam-diam aku mencuri pandang ke arahnya. Tedy tengah duduk bersila dengan tangan menopang tubuhnya di belakang. Matanya lurus menatap lautan. Aku berpaling kembali.

"Kelihatannya begitu." aku menjawab setenang mungkin, meski tahu 'mereka' tak akan pernah datang. "Lagipula kenapa pilih pantai? Akan sangat sulit saling mencari di tempat gelap seperti ini."

Aku mendengar Tedy mendengus. "Kau takut?"

"Aku? takut? Mana mungkin." sangkalku, sebisa mungkin memaksakan tawa yang terdengar seperti mesin penggiling di telinga.

"Kau tidak tahu ya? Kata penduduk sekitar pantai di sini suka memakan tumbal manusia lho."

"Ak-aku tidak percaya cerita-cerita konyol seperti itu." aku menggigit bibir, dalam hati sudah mulai ciut mendengar ceritanya. Cepat-cepat aku menyalakan ponsel sebagai penerang dengan layar yang dihadapkan ke laut.

Ternyata tindakan refleksku mengundang tawa keras Tedy. Aku mendengarnya tertawa lepas, sesuatu yang entah sudah berapa lama aku rindukan.

Sepi menggantung sesaat setelah tawa Tedy. Angin masih bertiup, suara ombak juga masih terdengar saling memecah, tapi yang ada di antara aku dan dia hanyalah keheningan. Sebagian otakku berpikir untuk mengajak Tedy pulang saja karena ceritanya tadi. Tapi hatiku terus mendorongku untuk memulai pembicaraan yang sebenarnya.

Ya. Inilah tujuan Shela membuat aku dan Tedy pergi ke tempat yang salah. Agar aku mengakhiri cinta terpendamku selama bertahun-tahun pada Tedy. Agar aku membuka semua kunci kenangan ini padanya dan membuat ia melihat apa yang tidak dia lihat selama ini. Namun, bisakah aku melakukannya? Bagaimana aku akan melakukannya? Bagaimana kalau Tedy salah mengartikannya? Kalimat-kalimat seperti itu terus berbisik dalam kepalaku, sementara Tedy hanya duduk tenang tanpa menyadari konflik yang tengah bergulat dalam diriku.

"Kalau dipikir-pikir, ini pertama kali kita ke pantai bersama, ya kan?" bisik Tedy. Suaranya terdengar jauh.

"Aku rasa begitu. Kita hanya pernah ke sungai dulu sepulang sekolah. Aku ingat kita berenam pulang dalam keadaan basah kuyup."

Tedy tertawa. "Benar. Waktu itu kau sampai sakit kan?"

Aku menghembuskan napas berat. Aku hanya ingat deritaku saat itu. "Kau tahu, yang membuatku basah waktu itu sebenarnya karena aku jatuh dari jalan mendaki yang kau lewati untuk membawa Jeni ke bukit.

Aku merasakan keterkejutan Tedy. "Benarkah? Tapi kenapa? Bukankah kalian semua menunggu kami di sungai?"

Aku menggeleng sia-sia. "Mereka semua mengikutimu ke atas untuk memotret kalian berdua." aku mendengus pahit. "Aku tidak tahu kenapa aku bisa kehilangan akal sehat dan jatuh."

"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu."

"Kenapa juga minta maaf. Itu bukan salahmu."

"Tidak ada yang memberitahuku. Aku yang mengajak kalian kesana, jadi seharusnya aku bertanggung jawab.."

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang