VI : BAHAGIA dan CINTA adalah dua hal yang berbeda

2.5K 91 5
                                    

"Halo?" suara jimmy terdengar dari telepon. Seperti biasa, Jimmy selalu mengangkat pada dering kedua.

"Hey, Jim. Masih di kantor?"

Aku menjepitkan ponsel diantara pipi dan bahu kananku. Tanganku sibuk merapikan piring bekas makan malam.

"Iya. Maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini."

"Tak usah dipikirkan. Kantor lebih penting." aku meneguk habis minumanku sebelum melanjutkan, "Memangnya masih banyak ya pekerjaannya?"

"Begitulah.. Bahuku sampai kaku semua." keluh Jimmy. Suaranya berat dan serak, nada bicaranya pun muram.

"Rebahan saja dulu sebentar."

"Tidak enak sama rekan kerjaku yang lainlah, An."

Aku melirik jam di dinding. Jam sepuluh malam lebih 23 menit. "Ya sudah. Jangan lupa banyak minum air putih."

"Yes, Mam." Jimmy tertawa kecil. "Kau sedang apa?"

"Duduk. Selesai makan."

"Sudah mau tidur?"

"Mungkin belum. Kenapa?"

"Kau bisa menunggu sebentar lagi? Aku ingin melihatmu."

"Jangan konyol. Kalau sudah selesai langsung istirahat saja di rumah."

Jimmy terkikik. "Ahh sulit sekali pacaran dengan Elsa." canda Jimmy. "Hatinya sedingin es di kutub."

Aku memutar mata tanpa sadar. Untung saja Jimmy tidak bisa melihatku. "Kau sedang mengejekku?"

"Aku ingin singgah sebentar untuk bertemu."

"Oh baiklah..."

"Benarkah? Aku akan datang secepat aku bisa."

"Alright.."

Aku mematikan telepon dan duduk di sofa ruang keluarga. Tanpa menonton atau bermain ponsel, aku duduk diam di sana entah untuk berapa lama. Di kepalaku hilir mudik berbagai macam ingatan tentang peristiwa yang terjadi kemarin : Perpustakaan, note Tedy, menangis, Tedy, Jimmy, Note, Jimmy, ...

"Kau sedang apa?" Alby berkata. Ia berdiri di depan pintu kamarnya, menatapku seperti melihat orang gila.

"Kau belum tidur?"

Alby berjalan mendekat lalu duduk di ujung sofa yang satunya. "Pinjam ponselmu sebentar."

"Untuk apa?"

Dahi Alby berkerut. "Aku ingin menelpon temanku."

"Jam segini?"

Alby mengangguk. "Di tempatnya sekarang masih pagi."

"Memangnya temanmu tinggal di mana?"

"Chicago."

Aku batuk saking terkejutnya. "Kenapa kau ingin menelpon ke chicago pagi-pagi?"

Alby menatapku jengkel. "Kau mau meminjamkan ponselmu atau tidak?"

"Pakai saja telepon rumah."

Alby tenggelam semakin dalam di sofa. "Nanti ibu menguping di kamar."

Ragu-ragu aku memberikan ponselku padanya. Anak ini sudah mendapat cukup banyak stres karena hobinya terhalang Ayah dan Ibu. "Jangan lama-lama. Aku sedang menunggu telepon."

Alby hanya mengangguk sekali dan beranjak ke teras samping. Samar-samar aku bisa mendengar suaranya.

"Halo? Hai. Can i talk to Mark for a momment? Yes please." Lalu ia terdiam lama. "Hai, Mark. What's up. It's me...yes. No, i'm sorry. Yeah... but i can't login for now. Yeah. What?!....but why?" Alby terdengar sedih. "Wait. What you talking about. I wouldn't.......i will find a way. Trust me. I...... no no. Don't do that.............oh okay. I got it......okay...bye."

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang