XIX : Tedy POV

1.6K 45 0
                                    

Wajah Anne tadi terlihat begitu lemah dan sedih. Dengan kalimat yang terbata-bata, ia menyampaikan perasaannya dengan jelas. Meski sulit untuk bicara, tapi dia memaksa harus mengatakan semua itu kepadaku malam ini. Dan aku langsung mengerti. Dia tidak ingin membuat situasi ini terus berlanjut diantara kami. Bahwa perasaan tanpa ikatan kami ini harus disambung atau diakhiri sekarang juga. Sayangnya, perkataan Anne mengarah ke arah akhir bagi kami. Sangat jelas. Ia mengatakan itu dengan air mata berlinang dipipinya. Membuatnya terlihat semakin rapuh, membuatku merasa semakin brengsek. Apa yang sudah aku lakukan padanya selama ini? Pertanyaan itu yang terus beterbangan dikepalaku setiap melihat ekspresi Anne yang seperti itu.

Aku berdiri di luar kamar Anne. Masih terkejut oleh keputusan yang diambil Anne tadi. Bagaimana bisa dia berkata masih mencintaiku tapi dia memilih bersama pria itu? Mengapa Anne masih tidak bisa mendahulukan perasaannya? Seperti dimasa lalu, Anne terus menekan perasaannya dan membiarkan orang-orang yang disekelilingnya bersamaku. Karena itulah kami selalu hanya sampai di titik ini. Karena Anne selalu meletakkan perasaannya di belakang yang lainnya. Ya. Bukan karena waktu yang selalu salah, tapi karena Anne selalu mendahulukan yang lainnya. Bagaimana bisa dia memintaku memahami itu semua sementara air matanya terus jatuh seperti itu? Ini sangat tidak adil. Aku bahkan tak bisa membantah dan melakukan yang seharusnya aku lakukan.

Situasi ini begitu rumit. Aku masih belum kemana-mana meski aku ingin. Dalam hati berharap Anne akan segera merubah pikirannya dan memanggilku kembali. Untuk sekali saja aku meminta pada Tuhan agar Anne akan bersikap egois dan mengatakan bahwa ia ingin bersamaku. Maka aku akan berlari padanya meski aku harus masuk neraka. Tapi Anne begitu membingungkan. Dia selalu bertindak diluar prediksiku. Untuk satu hari saja dia sudah membuatku terkejut berulang kali.

Melihat dia muncul bersama seorang pria di acara kolam renang hotel adalah yang pertama mengguncangku, Tapi dia berkata dia punya banyak alasan positif yang bisa membenarkan tindakan tidak biasanya ini. Lalu tiba-tiba ia terlempar ke dalam kolam dan hampir membunuh  diri sendiri. Dan sekarang, untuk ukuran seorang pria yang ia cintai,, bahkan berteman saja sudah tidak bisa lagi untukku.

Siapa yang bisa memahami itu semua? Terlebih lagi, mengapa Anne tak menanyakan perasaanku padanya? Dia hanya terus mengatakan perasaannya, perasaan pria itu, tanpa bertanya perasaanku. Apakah perasaanku tidak cukup penting disini? Karena menurutnya aku tidak memiliki perasaan apapun untuknya? AArrghhh!!

Ditengah semua kakecauan ini, seorang pria muncul di depanku--pria yang datang bersama Anne di taman bunga waktu itu. Ia berdiri dihadapanku dengan amarah dimatanya.

"Kita bertemu lagi." Ia berkata angkuh.

Aku tidak menanggapi basa-basinya. Aku memang tidak ingin bicara dengannya.

"Bukankah sedikit aneh kita terus bertemu dalam situasi seperti ini?"

"Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?"

"Jujur saja, aku tidak suka terus bertemu denganmu."

Aku mendengus. Dia pikir aku senang bertemu dengannya?

"Benar. Bukan itu, melainkan aku tidak suka kau terus muncul didepan Anne."

Aku memutar mata dengan sengaja. "Bung, untuk memperjelas saja, aku juga tidak suka bertemu denganmu. Dan aku tidak 'muncul' di depan Anne, tapi kami 'kebetulan' bertemu. Bagaimana menurutmu jika hari ini aku tidak disini?"

"Apa?"

"Dimana kau saat mereka melemparkannya ke kolam renang? Apa yang sedang kau lakukan diluar sana saat dia disini hampir mati tenggelam? Hah!?" Aku meneriaki pria itu tepat di depan wajahnya.

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang