XV : PILIHAN

1.8K 69 0
                                    

Shela sedang duduk di sampingku, tangannya hangan menggenggam tanganku. Matanya basah oleh air mata. Aku mencoba tetap membuka mataku walau terasa sangat berat. Mengapa ia menangis?

"Anne sadar." kata shela setengah menengok ke belakang.

Aku mengikuti arah pandangannya dengan susah payah. Icha sedikit berlari dan naik ke tempat tidur, memposisikan dirinya di samping shela--menatapku prihatin. Lalu key menyusul di belakangnya. Ekspresinya khawatir bercampur lega.

"Anne?" Shela memanggilku. Meminta jawaban.

Aku hanya bisa mengangkat alisku sembari untuknya. Aku masih terlalu letih untuk bergerak bahkan bicara. Kepalaku masih terasa berat dan dadaku masih terasa begitu sesak. Tapi Shela terlihat lega.

"Aku pikir..aku pikir..tadi aku akan kehilanganmu.." kata Shela menahan tangis. Icha langsung memeluknya.

"Haruskah aku panggil lagi dokternya sekarang?" Key berkata canggung. Ia tersenyum lega padaku saat aku menatapnya.

"Tentu saja!" Jawab Icha ketus. Lalu Key berbalik dan tak terlihat lagi. Dan aku kembali tertidur.

                                                           *******

Aku terbangun oleh seseorang yang menekan pergelangan tanganku. Ketika aku membuka mata, terlihat seorang pria paruh baya sedang duduk menyamping di sampingku. Ia mengenakan sebuah jas putih dengan banyak pulpen berjejer disaku dadanya. Tangannya terangkat dan ia melihat jam di tangannya dengan satu tangannya menekan pergelangan tanganku. Nadiku mungkin.

"Sudah normal. Anda akan baik-baik saja sekarang. Benar-benar beruntung." Kata dokter itu dengan suara serak. "Aku akan menuliskan resepnya nanti. Untuk sekarang, aku hanya akan menyuntikkan antibiotik." Dokter itu membuka tas besar di depannya. Ia mengeluarkan botol kecil dan alat suntik dari plastiknya. Oh tidak. Jangan disini..

Dokter itu mengangkat lengan tanganku dengan bagian dalam menghadap ke atas. Aku menutup mata dengan lengan yang satunya. Menyembunyikan rasa takut dan sakit saat jarum menembus kulitku. (Sedikit meringis saat jarum itu menusuk kulit lenganku).

"Selesai. Kau akan baik-baik saja. Tapi untuk sekarang, jangan terlalu banyak bergerak dulu."

Aku mengangguk lemah dan dokter itu bergerak turun dari tempat tidur. Shela dan Icha berjalan mengikuti dokter itu ke sofa. Key terlihat sedang duduk di sofa dengan posisi menyamping. Kepalanya menghadap ke arahku dengan tertopang tangan di atas sofa. Ia tersenyum prihatin lagi. Aku membalas senyumnya dengan maksud mengatakan bahwa aku tidak apa-apa.

Tepat saat itu aku menangkap sesuatu dari ujung mata. Seseorang sedang berdiri di ujung tempat tidur. Aku tak menyadarinya hingga saat ini dan langsung tak mempercayainya saat aku sadar siapa sosok itu.

"Anne." Kata tedy. Ia tersenyum kecil kearahku.

Aku melongo. Tak tahu harus mengatakan apa. Sedang apa tedy disini? Apa aku berhalusinasi karena suntikan obat dari dokter tadi?

Tedy masih menatapku. "Merasa lebih baik?"

Aku diam sebelum akhirnya mengangguk. Tanpa sadar alisku terangkat karena pertanyaan yang timbul di otakku. Sedang apa tedy disini?

"Aku.." tedy hendak mengatakan sesuatu, namun Icha memotong perkataannya.

"Dia yang membawamu kemari dari kolam renang." Kata Icha yang kini duduk di sampingku.

Aku kaget. Menatap tedy penuh tanya lagi.

"Aku juga se.."

"Dia juga kebetulan ikut acara itu. Katanya dia melihat mereka melemparkanmu ke kolam renang dan langsung terjun ke kolam itu. Untung saja dia masih ingat kau tidak bisa berenang. Kalau tidak.. Ugh!" Jelas Icha. lalu ia kembali menatap garang pada Key.

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang