07

101 25 1
                                    

Semalaman Stefani gak bisa tidur, dan di tempat kerja pun dia kelihatan lumayan linglung karena rasa kantuk yang mulai menyerang.

Sekitar jam 10, ketika keadaan toko lumayan sepi, dia pergi ke bagian kasir duduk-duduk bareng rekan kerjanya, ngobrol-ngobrol dan lain sebagainya sampai pintu toko terbuka dan buat Stefani dan rekan kerjanya menoleh ke arah pintu.

“Kok kebuka sendiri ya?” Ucap Renjun, rekan kerja Stefani.

Beda dengan Renjun yang terheran-heran, Stefani di satu sisi merasa terkejut dan jadi kehilangan rasa kantuknya. Lagi, sosok Riku yang kemarin dia lihat sekarang muncul di tempatnya kerja.

Stefani bangkit berdiri, tanpa pamit dia berjalan pergi menghilang ke dalam banyaknya rak buku di toko. Riku, dengan segelas es kopi di tangannya itu berjalan menyusuri toko, dia lihat kok kalau tadi Stefani lari pergi, toh, di toko begini, memang perempuan itu bisa lari ke mana sih?

Riku dan Stefani berjalan di sebelah rak yang sama, di sisi yang berbeda, Stefani yang panik harus sembunyi di mana, dan Riku dengan santai berjalan sambil melihat-lihat.

Sampai di ujung, Stefani hanya diam di tempat, mengatur napas dan rasa paniknya biar gak kabur ke mana-mana. Perempuan itu mencoba untuk mencerna apa yang sedang terjadi, dan mengapa seolah-olah hanya dia saja yang bisa melihat Riku. Stefani yakin kok kalau dia tak punya indera keenam.

“Hai 😄.” Terlalu lama berpikir, sekarang Riku malah sudah ada di depan Stefani, tersenyum dengan lebar.

Stefani menahan napas, paham kalau dia tak bisa teriak di tempat seperti ini, suara aneh pun keluar dari mulut Stefani.

“Bisa ngobrol sebentar? 😊”

Duduk berdua begini Riku bisa lihat dengan jelas kalau tak ada aura merah ataupun merah muda yang keluar dari Stefani. Biasanya orang yang jatuh cinta atau punya perasaan cinta akan mengeluarkan aura merah atau enggak merah muda.

Riku jadi kasihan, seberat apa hidup perempuan ini sampai rasa cinta sedikitpun gak bisa muncul di jiwanya?

“Jadii...” Riku memberikan gelas es kopi yang ia bawa kepada Stefani, dia dapat dari cafe dekat sini kok, bukan dia bawa dari pusat, jadi murni kopi buatan manusia. Gelas yang tadinya gak kelihatan di mata manusia lainnya itu sekarang bisa dilihat oleh semua manusia karena sudah berpindah tangan. “Itu buat kamu, biar gak ngantuk.” Senyum Riku.

Stefani mengusap bawah hidung dengan punggung tangan kirinya, Riku berdeham sebelum kembali bicara. “Kamu gak perlu balas omonganku karena sekarang cuma kamu yang bisa lihat aku, tapi kalau kamu mau balas omonganku juga gak masalah sih, gimana enaknya kamu aja.”

“Jadiii... Aku cupid, tugasku—”

“Buktiin.”

“Ha?”

“Buktiin kalau kamu Cupid.”

Riku membuka mulut, kemudian menutup mulutnya lagi sambil berpikir. Dia menggelengkan kepala. “Gak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena yang ada di list tugasku sekarang cuma kamu, jadi aku cuma bisa bantuin kamu buat bersatu sama orang yang kamu suka.”

Stefani menghela napas, dia menengokkan kepala dan membuang es kopi yang diberikan oleh Riku padanya ke tempat sampah di sebelahnya. Dia balik menatap Riku, tepat di mata. “Percuma, gak ada gunanya,” Stefani menggelengkan kepala. “Aku gak tertarik buat jatuh cinta. Mau kamu ngikutin aku sampai seribu tahun pun gak akan ada hasilnya, mending kamu cari orang lain yang punya rasa cinta, kamu satuin deh.”

cupid - maeda rikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang