Ternyata Benn tidak main-main dengan perkataannya. Dia benar-benar membawa anak itu lengkap dengan barang-barangnya yang dimasukkan ke dalam sebuah tas duffel besar di pundaknya. Gadis berambut perak itu berada dalam gendongannya. Sepertinya tengah tertidur atau mungkin merasa malu dan memilih untuk bersembunyi di balik dada pria itu.
Shanks berdiri melihat mereka menaiki tangga, entah kenapa perasaannya campur aduk. Dia marah, tidak suka, tapi di sisi lain dia cukup penasaran tentang gadis kecil tersebut. Tak lama Benn pun tersadar akan kehadirannya, membuat pria itu berhenti melangkah seraya mengelus kepala dan punggung Thalassa yang tertidur sejak mereka berjalan dari bar menuju kapal.
Shanks mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tapi beberapa detik kemudian dia tersadar, untuk apa dia marah dan kesal? Apakah karena Benn mulai berani mengancamnya? Atau karena gadis itu yang berhasil menarik simpati wakilnya hingga nekat mengambil keputusan yang cukup beresiko?
“Semua urusan anak ini adalah tanggung jawabku. Kau tidak perlu khawatir, Shanks.”
Benn membetulkan sejenak posisi tubuh Thalassa dan kembali berjalan menuju kabin pribadinya. Melewati Shanks begitu saja, membuat kapten bajak laut tersebut semakin merasakan sesuatu yang membuncah emosi di hatinya.
Tidak. Itu tidak mungkin, Shanks!
Anak itu bukan Nerina. Gadis kecil itu bukan bagian dari hatinya yang telah hilang 5 tahun lamanya. Dia adalah salah satu alasan wanita itu pergi meninggalkannya. Memilih untuk hidup bersama pria lain dan memiliki anak. Shanks tahu, tujuan Nerina dengannya dari dulu memang tidak pernah sejalan. Mungkin itu alasan mengapa dia memilih untuk pergi tanpa pamit.
Tapi tetap saja. Amarah yang sudah lama membeku itu tiba-tiba mencair dan kembali membara.
“Ayah!”
Kalau saja tidak ada suara seorang gadis kecil memanggilnya, mungkin telapak tangan Shanks akan berakhir berdarah karena mengepalkannya dengan sangat kuat. Pria itu cepat-cepat mengatur kembali ekspresinya dan menoleh ke arah sumber suara.
“Ya, Uta. Ada apa?” tanyanya. Tersenyum manis menatap anak angkatnya yang saat ini sudah berusia 7 tahun.
“Paman Benn membawa seorang anak kecil. Siapa dia?” tanyanya.
Shanks berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tubuh kecil Uta. Senyumnya belum luntur. “Dia bukan siapa-siapa. Benn hanya mengajaknya untuk tinggal bersamanya.”
“Apakah gadis itu putrinya?” tanya Uta sekali lagi.
Entah kenapa, Shanks tiba-tiba terdiam. Kalimat polos yang dilontarkan Uta sukses membuatnya sulit untuk merespon.
Tunggu! Perasan apa ini?
Kenapa Shanks kembali merasa marah hanya karena pertanyaan Uta barusan? Siapa yang peduli dengan anak berambut perak itu? Sekalipun dia putri kandung Nerina dengan entah siapa pria di luar sana, atau sekalipun Benn berniat mengadopsinya, itu bukan urusannya.
“Ayah?”
Pria berambut merah itu mengedipkan matanya sejenak. “Bukan, dia bukan putrinya.” Shanks mengusap kepala Uta dengan lembut. “Bagaimana jika kita ke dapur? Pasti Roo menyiapkan sesuatu yang enak untuk makan siang.”
* * *
Thalassa terbangun ketika mendengar suara decitan pintu lemari dibuka. Gadis itu merasa di sekitarnya bergoyang-goyang, membuat kepalanya sedikit pusing dan memutuskan untuk bangun serta melihat ke sekeliling. Dia berada di dalam kamar. Ada dua rak buku besar beserta meja kerja, tak luput dua lemari kayu yang terpajang di sisi lain kabin. Thalassa menahan napas saat mendapati sosok Benn yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari yang berukuran lebih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salt Of The Earth (on-hold)
FanfictionThalassa tumbuh dengan sebuah topeng protagonis di wajahnya. Dia bersikap baik, ramah, cerdas dan kuat. Orang-orang menganggap dirinya adalah kartu As yang dimiliki oleh bajak laut Topi Jerami, tanpa mengetahui jika di balik mata biru lautnya itu me...