Sebenarnya, Thalassa pernah mengalami penyiksaan yang nyaris membuatnya mati berkali-kali. Seharusnya kejadian di mana Shanks mencekik lehernya dengan tatapan ingin membunuh bukanlah apa-apa baginya. Namun entah kenapa rasa sakit di lehernya sampai sekarang masih terasa, setiap melihat atau bahkan mendengar orang menyebut namanya saja membuat tubuh Thalassa bergetar ketakutan.
Seharusnya Thalassa tidak boleh takut. Kehadiran pria itu bukanlah sesuatu yang harus dia takutkan.
Tapi apa daya, Thalassa tidak berani untuk mengatakan yang sesungguhnya.
“Thalassa?”
Gadis itu terkejut, buru-buru mengubah posisi berbaringnya dengan memunggungi Benn yang barusan datang ke kabinnya. Thalassa memeluk bantalnya dan menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau mengatakan yang sesungguhnya pada Benn. Dia tidak mau membebani pria itu lagi setelah permasalahan dirinya dengan Uta.
“Hey, Thala. Kau baik-baik saja?” tanya Benn. Pria itu langsung mengambil duduk di pinggir ranjang dan menyentuh pundaknya. “Thalassa, aku tahu kau tidak tidur.”
Benn menghela napas kasar. Ternyata mengurus dan menghadapi anak kecil secara langsung itu begitu sulit dan merepotkan. Beruntung Benn menyayangi gadis itu. Kalau tidak, dia tidak akan mau repot-repot mengecek keadaannya. “Kau sudah tidak lagi membantu Roo memasak, bahkan kau jarang terlihat memancing bersama Yasoop. Ada apa, hum?” tanya Benn, berusaha untuk tetap bersikap lembut.
Tapi Thalassa tetap tidak bergeming.
“Thalassa, aku punya cookies cokelat favoritmu. Jika kau tetap diam saja, aku akan memberikan semuanya pada Uta.”
Thalassa mengigit bibir bawahnya. Beberapa detik kemudian dia melepas pelukannya pada bantal dan menatap Benn yang masih duduk di pinggir ranjang. “Mana cookies-nya?” tanya gadis itu dengan polos seraya merentangkan tangannya.
Benn terkekeh, dia merogoh saku celana kargonya dan memberikan 3 bungkus cookies tersebut padanya.
“Katakan padaku, kenapa kau akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktumu di dalam kabin? Apa ada seseorang yang membuatmu tidak nyaman?” tanya Benn, selagi anak itu menikmati kuenya.
“Tidak ada. Aku hanya ingin berada di kabinku saja.”
“Kau serius? Semua kru kapal menanyai keadaanmu. Biasanya kau menghabiskan waktu bersama mereka.”
Thalassa terdiam. Masih sibuk mengunyah cookies.
“Apa Uta kembali mengancammu?” tebak Benn. Gadis itu terbelalak, lantas langsung menggeleng. Mereka sudah tidak bermain lagi, bahkan berbicara pun tidak. Sekalipun bertemu hanya saat berada di ruang makan saja. “Apa Shanks membuatmu takut?” tanya Benn sekali lagi.
Thalassa berhenti mengunyah cookies-nya. Dia menatap Benn lekat-lekat. “Tidak. Aku tidak takut dengannya.”
‘Aku hanya belum punya keberanian untuk mengatakannya,’ lanjut Thalassa di dalam hati.
Benn menghela napas sejenak. Matanya tidak sengaja memperhatikan meja belajar yang tidak lagi terdapat figura foto keluarganya. “Di mana foto keluargamu? Kau tidak lagi memajangnya?” tanyanya.
Ditanya seperti itu, Thalassa dibuat berpikir sejenak. Tidak mungkin dia mengatakan jika foto itu dirusak oleh Shanks, meskipun dia tidak tahu apa alasannya.
“Aku menyimpannya. Akhir-akhir ini aku sedang merindukan Ibu, kalau aku keseringan melihat foto itu entah kenapa aku merasa sedih,” jawab Thalassa tidak sepenuhnya berbohong, sebab tiada hari tanpa merindukan sosok ibunya. “Aku juga selalu membayangkan bagaimana jika Ayah masih ada. Aku ingin sekali bertemu mereka.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Salt Of The Earth (on-hold)
FanfictionThalassa tumbuh dengan sebuah topeng protagonis di wajahnya. Dia bersikap baik, ramah, cerdas dan kuat. Orang-orang menganggap dirinya adalah kartu As yang dimiliki oleh bajak laut Topi Jerami, tanpa mengetahui jika di balik mata biru lautnya itu me...