Shanks akui, dia mengacaukan segalanya.
Satu tahun terakhir itu terasa menyiksa. Hari-harinya berjalan dengan banyak pikiran semrawut di kepala. Tiap malam pun pria itu selalu memikirkan bagaimana nasib dan keadaan putri bungsunya yang jauh darinya. Bagaimana hari-harinya di sana? Bagiamana tidurnya? Bagaimana makannya? Bagiamana belajarnya? Apakah dia memiliki teman? Atau sebaliknya?
Dia merindukannya. Tiap hari. Tiap jam. Bahkan tiap menit.
Hongou bahkan bilang jika kaptennya itu kehilangan banyak berat badan karena memikirkan segala macam hal hingga mengganggu waktu makan dan istirahatnya.
Meski Benn mengatakan berkali-kali, jika gadis kecil kesayangannya itu akan baik-baik saja, namun insting seorang Ayah tidak akan pernah bisa merasa tenang. Rasanya dia ingin mengambil alih kemudi kapal, dan memutar balik haluan kembali ke West Blue saat itu juga. Namun di sisi lain Shanks sadar, dia tidak punya keberanian untuk melakukannya.
Shanks terlalu takut untuk menempatkan Thalassa berada di tempat yang sangat bahaya—seperti bersamanya. Sekalipun pria itu adalah ayah kandungnya—tempat ternyaman yang bisa Shanks pastikan tanpa ragu—namun suka atau tidak, dia harus mengakui jika pelukannya adalah perangkap mematikan yang bisa saja merenggut nyawa gadis kecil tanpa dosa tersebut. Itu bisa saja merenggut harta berharganya dalam hitungan detik.
Dia akan dicap sebagai seorang ayah yang gila dan bodoh jika terus mengedepankan egonya. Shanks sadar, dia adalah marabahaya untuk Thalassa. Shanks sadar, terlalu berbahaya bagi Thalassa untuk terus berlayar bersama Akagami.
Karena sumpah demi apapun, Shanks tidak ingin dunia tahu jika Thalassa adalah keturunan satu-satunya penyihir agung yang masih hidup dan memiliki darah bajak laut darinya. Demi apapun, pria itu akan melakukan segala cara sekalipun itu membuat putrinya membencinya.
“Kali ini dia akan benar-benar aman, Shanks.”
Lamunan pria berambut merah itu buyar saat Benn tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya yang tengah menatap lurus lautan dari buritan kapal. Udara malam terasa begitu menusuk tulang, namun entah kenapa rasanya tubuh Shanks mati rasa. Yang dia rasakan sekarang adalah bagaimana hatinya hancur saat tidak bisa menjemput dan membawa pulang permata hatinya kembali ke kapal. Ke pelukannya. Ke keluarganya yang menyayanginya di Red Force.
Benn menghela napas. Dia mengambil satu lintingan rokok dan memantiknya dengan korek. Asap tak lama mengepul, keluar bersamaan dengan dirinya yang menghela napas panjang. “Setidaknya kau sudah berusaha yang terbaik untuk mempertahankan nyawanya,” ucap Benn sekali lagi.
Shanks masih terdiam. Ekspresi wajahnya terlihat semakin getir. Berkali-kali dia menelan ludahnya susah payah, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di dada dan tenggorokannya. Sesuatu seperti perasaan bersalah dan tak berdaya akan suatu hal yang tidak bisa dia kontrol.
“Aku telah ingkar janji, Benn. Aku meninggalkannya ... Untuk yang kedua kali.”
Wakilnya itu lagi-lagi menghela napas. “Kali ini kau meninggalkannya di tempat yang layak. Di tempat di mana dia dipastikan akan dicintai, sama seperti dia dicintai oleh Nerina dan kau.”
“...”
“Dia sekarang bersama Kakeknya, Shanks. Orang kedua yang dipastikan akan melindunginya meski nyawa taruhannya.”
Shanks menoleh, menatap wakilnya lekat-lekat. “Aku tidak pernah bisa percaya pada orang-orang Celestial Dragon. Mereka begitu berbahaya, mereka bisa saja membunuh putriku jika mereka tahu siapa ibunya!”
“Tapi kau lupa, jika mereka tidak akan bisa menyentuhnya karena darah Figarland mengalir deras di nadinya.”
“...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Salt Of The Earth (on-hold)
FanficThalassa tumbuh dengan sebuah topeng protagonis di wajahnya. Dia bersikap baik, ramah, cerdas dan kuat. Orang-orang menganggap dirinya adalah kartu As yang dimiliki oleh bajak laut Topi Jerami, tanpa mengetahui jika di balik mata biru lautnya itu me...