08 | Samskara

107 27 7
                                    

Thalassa tidak bisa menyembunyikan masalahnya dari Benn, mengingat dia payah memanipulasi ekspresi wajahnya dari pria yang sudah berkepala 3 tersebut.

Setelah Uta mematahkan seluruh krayonnya, malamnya dia mengurung diri di kabin. Saat Benn mengeceknya, wajah gadis itu sembab dengan mata yang membengkak. Benn tidak paham masalah anak kecil antara Thalassa dengan Uta. Namun mendengar penjelasan dari keponakannya, pria itu tidak habis pikir Uta bisa menjadi manipulatif seperti itu.

Benn mencoba memahami masalah ini dari segala sisi. Uta hidup dengan penuh kasih sayang dan perhatian orang-orang, segala kebutuhannya dipenuhi sejak dia masih kecil sehingga gadis itu tidak pernah yang namanya merasa kekurangan. Sedangkan Thalassa tidak.

Mungkin kehadiran Thalassa secara tiba-tiba membuat beberapa perhatian orang-orang sedikit tersingkirkan darinya. Meski di awal Thalassa selalu gugup dan gelisah ketika berinteraksi dengan seseorang, namun dia aslinya adalah gadis yang periang. Motoriknya cerdas sehingga dia dengan senang hati membantu orang-orang di kapal dengan pekerjaan-pekerjaan ringan namun cukup membantu dan hal itu berhasil membuatnya cepat akrab dengan semuanya.

Thalassa mendapatkan banyak perhatian, pujian dan kasih sayang yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Hal itu mungkin membuat Uta merasa ada sesuatu yang hilang darinya, dan yang hilang itu didapatkan oleh Thalassa.

Maka dari itu Benn tidak mau mengambil tindakan lebih lanjut, dan meminta Thalassa untuk menghindar sejenak dari Uta. Sejak kejadian itu pula, Benn lebih memperhatikan gadis itu di setiap aktivitasnya. Dia tidak mau ada keributan antara Thalassa dan Uta yang nantinya akan berujung cekcok dengan ayahnya. Bagaimanapun Benn masih sangat menghormati kaptennya itu.

“Kau tidak mau mencoba sate udangnya, Thala?”

Mereka sedang menikmati sesi makan malam di ruang makan. Semua kru kapal berkumpul, kecuali Snake yang 5 menit lalu telah pamit untuk berjaga di ruang kemudi. Yasoop yang duduk di hadapan Thalassa tiba-tiba menawarkan piring penuh berisikan sate udang

Thalassa menggeleng dengan sopan. “Tidak Paman, terima kasih.”

“Kenapa? Ini enak loh!” kata Yasoop seraya menggigit sate udang tersebut.

“Aku alergi udang,” balasnya.

“Uhhuk! Uhhuk!”

Entah gadis itu salah berbicara atau apa. Tapi dia melihat semua orang seperti salah tingkah. Bahkan Yasoop sampai tersedak dan cepat-cepat menenggak segelas air dengan bringas.

“Ke—kenapa? Apa aku salah berbicara?” tanya Thalassa bingung. Sebab kini semua kepala yang ada ruang makan menatapnya penuh curiga. Lalu beberapa di antaranya menatap pria berambut merah yang sedari tadi terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Ekhm!” Benn tiba-tiba berdeham. Aksinya barusan berhasil memecah suasana. “Di dunia ini yang alergi udang bukan hanya satu atau dua orang saja. Jadi berhenti menatapnya seperti itu.”

Benn mencoba untuk menahan sesuatu yang membuncah di hatinya. Beruntung rekan-rekannya kembali normal dan menyantap makanannya lagi. Tapi tidak dengan Shanks. Benn mendapatinya menatap Thalassa dengan tatapan penuh tanda tanya. Merasa diperhatikan, pria itu segera mengalihkan tatapannya pada Benn. Selang beberapa detik, Shanks akhirnya membuang muka. Melupakan kejadian singkat barusan dengan kembali menyantap makanannya.

Benn paham tatapan kaptennya barusan. Meski kemungkinan nyaris nol, tapi ekspresi pria itu tidak bohong. Shanks juga memiliki alergi terhadap udang. Semoga saja kebetulan ini tidak lebih dari itu.

Beberapa jam setelah sesi makan malam selesai, Benn merokok sejenak di dekat pagar pembatas setelah beberapa menit yang lalu mengantar Thalassa ke kabinnya untuk tidur. Pria itu dengan khidmat menikmati setiap sari-sari nikotin yang dia hisap memenuhi paru-parunya. Lalu menghembuskan asap polusi tersebut ke udara bebas.

Salt Of The Earth (on-hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang