06 | Dum Spiro, Spero

112 26 1
                                    

“Jangan pergi.”

Shanks menahan tangannya. Membuatnya batal beranjak, lalu menariknya untuk kembali duduk di pinggir ranjang tepat di sampingnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan khawatir. “Kubilang jangan pergi.”

“Shanks, aku—”

“Please, don't leave me. You mean so much for me.” Tangan pria itu mengelus rambut peraknya, menyelipkan beberapa helai rambut ke balik telinganya, kemudian mengecup keningnya dengan lembut. “Nerina, you complete me.”

Kalimat terakhir Shanks berhasil membuat Nerina tersentuh. Mata biru lautnya menatap mata cokelat gelapnya lekat-lekat. Mencari titik kebohongan yang sama sekali tidak nampak sedikitpun di sana. Pria ini benar-benar mengatakan yang sesungguhnya.

“Shanks, aku seorang keturunan penyihir. Aku bisa saja menyihirmu untuk jatuh cinta padaku.”

Shanks tertawa mendengar penuturannya. Pria itu kembali menciumi wajahnya. “Lakukan saja. Aku tidak peduli,” ujarnya. “Lakukan apapun yang suka, asal jangan pergi dariku,” lanjutnya yang kemudian tanpa aba-aba mengecup bibirnya.

Kecupannya begitu lembut namun menuntut. Seakan-akan Shanks menyalurkan semua perasaannya pada wanita itu. Nerina merasa luluh, dia melingkarkan tangannya di leher pria itu dan sesekali membalas ciumannya. Hingga beberapa detik kemudian mereka mengakhiri kegiatan tersebut.

“I won't leave you, Shanks. Never.”

Shanks terkejut, lantas terbangun dari tidurnya yang akhir-akhir ini begitu melelahkan. Dia menatap langit-langit kabin yang terasa dingin. Dengan dada yang terasa begitu sesak, pria itu memutuskan untuk menyibakkan selimut dan bangkit dari tidurnya.

Dia bohong.

Semua yang dia katakan bohong.

Pria itu mengusap wajahnya kasar dan memijat pelan pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing di kepalanya. Akhir-akhir ini dia sering mendapatkan mimpi tentang wanita itu. Padahal ini sudah terhitung cukup lama Shanks beradaptasi atas kepergiannya yang tanpa pamit padanya. Sebenarnya, awal saat mengetahui Nerina memiliki seorang anak, di dalam hati kecilnya dia merasa sangat lega. Itu artinya eksistensi wanita itu masih ada dan melanjutkan hidupnya tanpa dirinya.

Namun saat mengetahui kondisi anaknya seperti apa dan fakta jika gadis itu adalah yatim piatu, dunia Shanks sekejap terasa runtuh. Dia tidak pernah mengira saat mendengar berita kematian seseorang akan menyiksanya seperti ini. Pria itu menangis dalam diam. Menutupi dukanya dengan amarah dan kebencian pada anak yang tidak tahu apa-apa itu.

Melihat Thalassa, seperti melihat masa lalunya yang begitu sesak untuk dia kenang. Jika terlalu lama menatap lekat-lekat mata biru lautnya, Shanks mungkin saat itu juga akan menangis di tempat meratapi nasibnya yang lagi-lagi ditinggal oleh cintanya. Selama 5 tahun dia sudah mencoba untuk menerima keputusan sebelah pihak yang diambil oleh Nerina. Mungkin saja Shanks tidak pantas untuk wanita itu. Mungkin saja Nerina lebih bahagia jika hidup bersama pria lain. Tapi dia benar-benar tidak terima saat mengetahui jika wanita itu sudah tiada.

Kenapa Tuhan mengambilnya lebih dulu? Kenapa dia harus mati lebih cepat darinya. Ada begitu banyak hal yang ingin pria itu sampaikan padanya.

Sekarang Shanks hanya bisa meratapi semuanya dalam diam. Menangis dengan air mata kering dan menutupi rasa sakitnya dengan membenci gadis kecil berusia 5 tahun tersebut.

Tok tok tok!

Ketukan di pintu membuatnya kembali tersadar dan menegakkan punggungnya.

“Bos! Kau sudah bangun?” seru seseorang dari balik pintu.

Salt Of The Earth (on-hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang