01 | Magoa

229 27 2
                                    

Ada 3 peraturan khusus baginya saat berbaur di lingkungan masyarakat.

Yang pertama, jangan pernah menaikkan pandangan ketika berada di sekitar orang-orang. Terutama pada orang-orang yang memiliki kuasa untuk melawan kaum rendahan sepertinya. Mereka akan merasa jijik dan tidak akan segan-segan menghabisimu hingga tidak bisa lagi melihat matahari di esok pagi.

Kedua, jangan pernah berbicara atau mengeluarkan sepatah katapun kecuali jika mereka memberi perintah untuk melakukannya. Kehadirannya itu sudah dianggap sampah, jadi jika mendengar suaranya sedikit saja pasti akan mengganggu.

Ketiga, jika mereka melakukan serangan fisik, apapun yang terjadi jangan pernah melawan. Berdoa saja kau tidak kenapa-kenapa dan masih bisa selamat meski beberapa tulang di tubuhmu patah.

Begitu yang dia pahami sejak kali pertama dia bernapas di dunia. Dari kecil, dia sudah diberitahu jika dirinya terlahir bukan sebagai siapa-siapa. Tidak ada keluarga yang menunggu kehadirannya. Kata kepala desa yang kini menjadi walinya, dia adalah sampah masyarakat yang bau dan busuk. Tidak ada yang menginginkannya di dunia ini, bahkan ibunya saja pergi meninggalkannya karena tidak sanggup merawat sampah sepertinya.

“Dasar tikus! Kau tidak becus dalam bekerja!”

Belum sempat bagi Si Tikus mengetahui apa yang akan terjadi padanya, sebuah cermin telah melayang mendarat mengenai belakang kepalanya. Tubuh kecilnya yang belum genap 5 tahun itu terjatuh bersamaan dengan serpihan kaca yang telah melukai sebagian tubuhnya. Suasana dapur toko roti itu mendadak hening. Semua karyawan menatap gadis kecil yang berdarah-darah di lantai tersebut dengan ngeri.

Kepala koki sekaligus pemilik toko roti berjalan mendekat dengan langkah pongah. Tanpa rasa bersalah, dia menarik rambut Si Tikus dan menyeretnya ke pintu belakang. Padahal darah sudah merembes menodai kepalanya yang luka akibat hantaman cermin barusan. Bahkan tak tanggung-tanggung pria itu mendorongnya hingga lagi-lagi tersungkur di halaman belakang toko roti. Si Tikus susah payah untuk menjaga kesadaran agar tidak berakhir pingsan.

Gadis kecil itu terpekik saat rambutnya lagi-lagi ditarik hingga membuatnya mendongak, dan detik berikutnya tamparan keras mengenai wajahnya berkali-kali.

“Dasar sampah! Sudah berapa kali kau merusak loyangku?! Dasar anak tidak berguna!”

PLAK!

Tamparan terakhir begitu keras, membuatnya kembali tersungkur dengan darah yang mengalir dari lubang hidungnya. Gadis kecil itu mencoba menyeka aliran darah tersebut, menyingkirkan rasa sakit di kepalanya yang terus berdenyut dan terasa ingin pecah.

Tahan.

Sebentar lagi amarahnya mereda.

Jangan sampai pingsan.

Dia terus merapalkan kalimat-kalimat yang sudah sering dia katakan di benaknya. Namun rupanya dia kurang beruntung saat penilik toko sudah lebih dulu menendang rusuknya, menginjak-injak dada dan perutnya hingga dia tersedak memuntahkan darah. Napasnya tersengal, pandangannya mulai berkunang-kunang dan tepat saat kaki pria itu menendang pelipisnya, kesadarannya benar-benar menghilang.

Ini masih terlalu pagi untuk mengacau. Tapi sosok sampah sepertinya ini bisa apa?

* * *

Dia tidak mati.

Ingatkan dia untuk bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan saat berdoa sebelum tidur nanti.

Yeah, meskipun kepalanya terasa mau pecah, wajahnya yang babak belur serta terdapat luka-luka di sekujur tubuhnya, setidaknya dia masih bisa bernapas dan berjalan pulang ke sebuah bar milik kepala desa. Dia tinggal di gudang penyimpanan barel anggur. Meskipun kepala desa sepertinya membencinya, namun pria itu masih mau berbaik hati membiarkannya tidur di gudang sejak ibunya meninggal dua tahun yang lalu.

Salt Of The Earth (on-hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang