Gedung itu berdiri dengan megah. Kesan ornamen aristokrat begitu kental melekat di setiap lekuk bangunan. Terdapat beberapa patung tokoh-tokoh pendiri sekolah yang berdiri di taman utama, lorong-lorong, hingga ruangan-ruangan para pejabat yang memegang tinggi kekuasaan.
Ini baru sejam yang lalu Thalassa resmi berpisah dari keluarganya. Pria berambut kelabu yang berjalan di depannya ini tidak memberikan kesempatan bagi Shanks ataupun Benn untuk menemani gadis itu ke kamar asramanya. Sehingga mereka benar-benar berpisah di dermaga. Begitu cepat, nyaris tidak terasa bagi gadis itu jika kini dia benar-benar sendirian.
Air matanya ingin keluar, namun tertahan kala pria yang mengantarnya ini menatapnya dengan begitu intimidasi. Sehingga tepat saat gadis itu sampai di kamar asrama, dia langsung buru-buru menaruh barang-barangnya di pojokan dan kembali bersiap menuju kelas dengan tas ransel yang telah dia siapkan.
Gedung sekolah ternyata cukup jauh dari asrama. Mereka berjalan kurang lebih 5 menit menuju suatu ruangan besar yang memiliki pintu kayu raksasa yang menjulang ke atas.
Thalassa tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Di pulau dulu tempat dia tinggal hanya menyediakan sekolah kecil yang tentunya tidak menerima orang minoritas sepertinya. Jangankan berharap untuk sekolah, bisa hidup dan makan sehari sekali saja dia sudah amat bersyukur. Lagipula siapa yang butuh sekolah? Saat hidupnya saja saat itu tidak ada harganya.
Sedih sekali rasanya membayangkan masa lalu.
Pintu besar itu terbuka. Membuyarkan lamunan Thalassa dan menyadarkan gadis itu jika di dalam sana terdapat puluhan siswi tengah duduk teratur di mejanya masing-masing. Kehadirannya mendadak menghentikan segala aktivitas di ruang kelas tersebut. Semua kepala menoleh, menatap gadis berambut perak itu dengan curiga.
Merasa jika semua tatapan tertuju padanya, refleks Thalassa menunduk menatap ujung sepatunya.
“Mohon perhatiannya, anak-anak!” Wanita yang Thalassa tebak adalah guru, menepuk kedua tangannya untuk meminta atensi orang-orang di kelas. “Silahkan, perkenalan dirimu.”
Thalassa gugup. Gadis itu perlahan mendongak dan kembali mendapati semua orang menatapnya. “Ha—halo. Nama saya Thalassa. Mo-mohon bantuannya.”
Tidak ada balasan ataupun respon dari mereka. Membuat Thalassa meneguk ludahnya seraya meremas ujung roknya.
“Baiklah, cukup perkenalannya. Kau bisa duduk di kursi kosong sebelah sana,” ucap sang guru seraya menunjuk ke arah kursi yang berada di pojok barisan paling belakang. Thalassa mengangguk, melangkahkan kakinya melewati siswi-siswi yang menatapnya penuh selidik.
Ini di luar kontrol Thalassa. Gadis itu harus kembali beradaptasi di lingkungan sosial yang baru.
Tepat saat bokongnya mendarat di kursi, seorang gadis yang duduk barisan depannya menoleh. Dia memiliki mata hijau dengan rambut secokelat batang pohon pinus. Belum sempat bagi Thalassa untuk tersenyum menyapanya, gadis itu lebih dulu melempar senyum seringai. Mata hijaunya yang sebelumnya terlihat teduh, entah mengapa terlihat begitu gelap seperti memberikan sinyal pada Thalassa jika hari pertamanya di sekolah tidak semulus yang Papa dan Paman-pamannya ceritakan.
* * *
Sialan.
Siapa yang bilang sekolah menyenangkan?
Ini hanyalah representasi dari kata neraka di dunia.
Thalassa membuang ludahnya dengan kasar. Rasa amis dia rasakan saat bibir dan gusinya luka dan robek akibat benturan gagang sapu yang terus-menerus mengenai dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salt Of The Earth (on-hold)
FanficThalassa tumbuh dengan sebuah topeng protagonis di wajahnya. Dia bersikap baik, ramah, cerdas dan kuat. Orang-orang menganggap dirinya adalah kartu As yang dimiliki oleh bajak laut Topi Jerami, tanpa mengetahui jika di balik mata biru lautnya itu me...