16 | Pre-annoyed

105 24 3
                                    

Red Force sudah kembali berlayar. Orang-orang di kapal sudah kembali beraktivitas seperti biasanya.

Thalassa masih berada di dalam kabinnya sejak dia sampai di kapal beberapa jam yang lalu. Belum keluar sama sekali dan memilih berbaring meluruskan kakinya di atas ranjang seraya menatap lampu tidur yang baru saja dia dapatkan.

Butuh beberapa kali baginya untuk meyakinkan dirinya jika benda itu pemberian dari seseorang yang sudah dia tunggu-tunggu kehadiran selama 2 tahun sejak ibunya tiada. Thalassa tidak pernah tahu bagaimana rasanya, tapi diberikan hadiah oleh seseorang bisa membuat hatinya jungkir balik.

Senyum di bibirnya merekah, lalu berganti menjadi tawa kecil. Thalassa memeluk lampu tidur tersebut hingga kemudian tak lama pintu kabinnya diketuk. Benn masuk seraya membawa paper bag. Gadis itu segera bangun dari posisi berbaringnya dan menaruh lampunya di meja nakas.

“Sepertinya ada yang sedang bahagia di sini.” Benn menarik kursi belajar Thalassa dan memposisikan dirinya untuk duduk di samping ranjang.

“Um, tidak juga kok,” bohong Thalassa. Tidak mungkin dia bilang, dia senang tak karuan karena mendapatkan hadiah pertama di hari ulang tahunnya dari papanya.

Benn tahu Thalassa berbohong. Tapi pria itu ikut senang karena gadis itu bisa tersenyum setelah sebelumnya berhari-hari selalu memasang wajah murung. Mata Benn beralih ke arah kaki Thalassa, teringat pesan kaptennya yang menitipkan plester untuk dipasangkan pada kedua tumit gadis itu. “Flatshoes ternyata tidak nyaman, ya?” ucapnya.

Thalassa yang sadar ke mana arah pandangan Benn, langsung menatap tumitnya yang terdapat bekas luka lecet dan darah mengering. “Aku tidak apa-apa, kok.”

“Thala, jika kau merasa sakit, katakan. Jika kau merasa takut, katakan. Jika kau merasa marah, tidak apa-apa untuk sedikit melampiaskannya. Jadi ... Jangan kau pendam sendiri dengan diam saja.” Benn mengeluarkan dua bungkus plester dari saku celananya. “Kemari, aku pasangkan plester di tumitmu,” lanjut Benn.

Gadis itu tidak bisa mengatakan apa-apa untuk menjawab perkataan pamannya itu. Alhasil dia mendekat dan menjulurkan kakinya pada Benn. Pria itu dengan cekatan menutup luka lecet tersebut dengan plester.

“Apa Shanks memperlakukanmu dengan baik?” tanya Benn sedikit retoris. Dia tahu, kaptennya itu sedikit berubah dalam memandang kehadiran Thalassa.

Thalassa mengangguk.

“Dia tidak mencelakaimu?” tanyanya lagi.

Kali ini dia terdiam. Meski barusan saat pergi bersama dengannya dia tidak mendapatkan perlakuan buruk dari Shanks, namun kejadian di mana pria itu mencekiknya (nyaris membuatnya terbunuh) kembali muncul di ingatannya. Tapi perlahan dia menggeleng. “Tidak. Dia tidak mencelakaiku.”

Benn tersenyum simpul. “Baiklah. Kalau begitu ...” Pria itu memberikan paper bag yang barusan dia bawa padanya. “Buka dan lihat isinya.”

Thalassa menerimanya dan membukanya. Mendapati isinya berupa sandal jepit dengan hiasan bunga kamelia. Gadis itu menatap Benn dengan mata yang berbinar. “Ini sangat imut!” ujarnya.

“Ibumu menyukai bunga kamelia. Aku lihat kau menggunakan kalungnya.” Benn mengusap kepalanya dan membetulkan rambutnya yang menghalangi wajahnya.

Gadis itu tidak mengatakan apa-apa, namun dia mendekat dan memeluk Benn. Pria itu membalas pelukannya dengan mendekap tubuh kecilnya dengan erat. Mengelus kepalanya mengecup singkat keningnya. Benn tidak pernah memiliki pengalaman menjadi orang tua, namun dia menyayangi Thalassa seperti anaknya.

“Ayo kita ke ruang makan,” ajaknya sembari menggendong tubuh Thalassa. “Mereka sudah menyiapkan sesuatu untukmu,” lanjutnya.

Thalassa tersenyum. Berandai-andai sesuatu apa yang tengah disiapkan oleh orang-orang di kapal. Sesampainya di ruang makan, gadis itu dikejutkan dengan apa yang ada di ruangan tersebut. Yasoop, Lime dan Gab meniupkan trompet. Hongou dan Punch melempar konfeti padanya. Lalu terakhir Roo yang berdiri seraya membawa kue ulang tahun bewarna baby blue.

Salt Of The Earth (on-hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang