Memasuki musim hujan ini, hampir selama dua Minggu ini selalu natapin hujan terus. Dimana pun hujan Dateng, aku jadi selalu kepikiran sama Keadaan Jesselyn.
Gimana gak khawatir, dua Minggu ini dia belum Dateng ke sekolah sama sekali. Aku udah dateng ke rumah dia, juga rumahnya kekunci terus kek gak berpenghuni. Udah capek sebenernya nelponin dia, gak ada balesan sama sekali. Sebenernya dia kemana sih.
Aku jadi inget kejadian bulan lalu (chapter 03. Nasib). Di mana di tengah-tengah hujan, Jesselyn berdiri dengan lengan yang berceceran darah. Bahkan waktu itu aku ga bisa nolong ataupun cegah dia buat gak pergi, lalu 5 hari setelah tidak masuknya Jesselyn ke sekolah. Kita berteman lagi seperti biasa, seakan-akan lupa akan kejadian waktu itu. Aku masih bertanya-tanya ada apa waktu itu, tapi aku takut untuk mengungkitnya lagi.
Aku duduk di halte bis sambil Mandang hujan turun lumayan deres, sama dingin banget rasanya. Gini-gini biasanya dia selalu meluk aku, apalagi pas petir. Karena sampai saat ini aku masih takut sama petir. Kekanak-kanakan banget yah. Tapi mau bagaimana lagi, orang ini trauma.
Aku dulu pernah di bully pas SD sama anak-anak SMP. Aku meluk tas ku dengan erat, mengingat kejadian 9 tahun yang lalu membuat perasaan gak nyaman.
Saat aku masih kelas 3 SD. Pada waktu itu aku main bersama Jesselyn di suatu taman. Kita bermain dari siang hari sepulang sekolah sampai menjelang sore. Bahkan kita masih mengenakan seragam merah putih. Jesselyn menarikku untuk segera pulang karena sudah sore. Tapi aku gak mau, karena nanggung, maunya di selesaikan sekarang jadi aku narik dia buat tinggal sebentar saja.
Akhirnya permainan ini selesai selama setengah jam. Tapi hujan turun begitu aja, dan ayah Jesselyn tiba tiba datang dan langsung menarik Jesselyn untuk pulang. Jesselyn yang mengeraskan sedikit suaranya agar ayahnya mendengar gak di gubris sama sekali dan menyeret Jesselyn cukup kasar.
"Ayah, antar Vio dulu. Dia pasti lupa arah pulang"
"DIAM KAMU! sudah baik-baik ayah jemput kamu sekarang. Besok kalau terlambat pulang lagi ayah ga bakal bukain pintu buat kamu"
Aku cuman diam melihat Jesselyn yang sudah pergi jauh. Sekarang aku takut, aku sendirian dan aku lupa jalan pulang ke rumah. Aku sangat ketakutan hingga aku menangis, hujan pun makin deras. Aku menepi di pondok taman itu. Menunggu hujan berhenti. Tapi aku baru sadar di pondok itu aku tidak sendiri, ada sekitar 3 anak SMP cowok sepertinya juga menepi menunggu hujan reda. Aku melirik mereka, gaya mereka memang seperti anak nakal. Bahkan ada yang merokok.
"Eh dek, lu kok gak pulang hah?"
"Kejebak hujan ya? Duh kasihan bgt wkwk"
Aku cuman diem, gak jawab sama sekali karena takut. Cowok yang membawa rokok itu langsung menatapku marah.
"Lu kalau di tanyain tuh di Jawab. Bisu ya lu?"
Aku menahan tangisanku dan langsung berteriak karena takut dan kesal.
"GAK USAH TANYA! VIO NGAPAIN AJA BUKAN URUSAN KALIAN!"
Alhasil membuat mereka marah. Dengan kasar mencengkram tanganku. Di saat itu juga petir langsung bergemuruh dan menggelegar.
"Berani banget lu jadi bocil. Kasih paham dia biar tau rasa"
Anak yang membawa rokok tadi menghembuskan asapnya ke wajahku. Aku terbatuk karena menghirupnya. Ujung api di rokok itu di tekan ke lenganku. Aku merasakan sensasi terbakar di sana. Mereka semua tertawa, ada juga yang mengejek, menghinaku, menjambak dan memukulku. Aku gak kuat, aku nangis keras banget. Petir juga menggelegar keras banget. Aku udah ga bisa menunggu di pendopo ini, gak ada cara lagi selain lari meninggalkan pendopo dan 3 makhluk jahat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALON BANGTIR
HumorKisah tentang seorang janda anak satu yang ingin menikah lagi dengan duda anak satu tapi anak-anak mereka tidak setuju karena suatu alasan yang tidak penting. Lee Vivio tidak setuju jika Choi Soobin Kakel sekaligus ketua OSIS dengan sifat mesum itu...