23. Tangis

10 1 7
                                    

Yohan tersentak kaget melihat air mata itu berlinang membasahi pipi rona gadis itu. Dirinya mendekati Vio dengan gugup. Mencoba mengelus bahu gadis itu dengan tangan yang gemetar.

"Vio..." Panggilan dengan suara gemetar. Dirinya benar-benar takut saat ini. Ia takut dirinya terlihat buruk lagi di pandangan Vio. Ia takut kejadian lama terulang kembali.

Yohan terisak, Yohan merasanya nyeri di dadanya. Penyakit yang selama ini sudah tidak pernah dia rasakan, dia dapatkan lagi. Penyakit itu adalah Anxiety disorder. Gangguan kecemasan yang berlebihan.

Nafas Yohan tidak beraturan, dirinya memeluk Vio dengan erat. Yohan menangis dan memohon ketakutan. Dengan suara gemetar dia berkata.

"Vio.... Aku- hanya tidak bisa mengontrol amarahku..." Tangisnya yang samar menjadi terdengar jelas di telinga Vio.

"A-aku hanya takut kamu membenciku lagi..." Kini pakaian Vio basah karena tangisan Yohan. Dia teringat dengan kejadian waktu itu. Dimana akhir dari hubungan Yohan dan Vio selesai.

Waktu itu Yohan menangis keras seperti saat ini. Tapi mau bagaimana pun Yohan salah, jadi Vio bisa saja marah. Vio meremat bahu Yohan dengan kuat. Mencoba mendorongnya mundur.

"Maafkan aku..."

Namun rintihan Yohan membuatnya terhenti, Vio menjadi merasa bersalah. Kasalahan yang terulang kembali. Membuat penyakitnya kambuh lagi. Vio merasa bimbang. Dirinya sebenernya tidak ingin berhubungan lagi dengan Yohan. Tapi, hal ini membuatnya merasa bersalah.

Vio akhirnya mencoba menenangkan tangisan Yohan itu dengan sebuah usapan lembut di kepala. Wajah Yohan bersembunyi di perut Vio membuatnya tidak bisa melihat apa yang terjadi. Tapi ia bisa merasakan bajunya yang membasah.

"Gue seharusnya gak marah sama Lo, gue udah ga ada hubungannya lagi dengan Lo. Gue yang seharusnya minta maaf"

"Gak!" Nada bicara Yohan meninggi.

"Kamu masih orang penting di dalam hidup ku, kamu sebenarnya masih menjadi prioritas ku Vio... Aku masih cinta sama kamu..." Tangis kecil itu terdengar lagi, Vio sudah muak dengan semua ini. Ia akan segera menyelesaikannya.

"Yohan... Lupain gue okay?-"

"Gak!" Pelukan itu makin erat hingga Vio sedikit tersentak.

"Gue bukan siapa-siapa Lo lagi"

"Tapi Kamu adalah alasan aku menangis setiap malam..."

Vio menghela nafasnya berat, dia mencoba menangkup wajah Yohan. Menyamakan tingginya pada wajah Yohan. Dirinya berusaha menyelesaikan ini semua secepatnya. Terdengar kembali suara serak lelaki itu

"Aku telah mencintaimu selama bertahun-tahun. Aku gak bisa melepaskan mu begitu saja apalagi melupakan mu"

"Yohan udah... Ini udah saatnya Lo move on sama keadaan. Gue gak a selamanya bakal sama Lo apalagi cinta"

Vio mencoba tersenyum menatap wajah lelaki itu. Yohan terlihat sangat rapuh saat ini. Pipi, mata dan hidungnya memerah. Dan air mata itu membuat siapa saja bisa menyalahkan dirinya sendiri.

"Gue..." Ada sedikit keraguan untuk mengatakan saat ini. Tapi on adalah salah satu cara agar lelaki itu berhenti berharap lagi.

"Gue udah punya seseorang yang gue suka. Lo ga bisa berharap apa-apa lagi..."

Yohan tersenyum kecewa saat menatap lekuk bibir Vio yang tersenyum memudar dirinya tersadar jika dia tidak bisa lagi maju jika sudah ada lelaki lain di hatinya.

Yohan mengangguk, dirinya paham sekarang. Walaupun sulit untuk di lupakan, dirinya harus bisa move on sekarang. Kini tangisan itu sia-sia. Dia sudah tidak ada bandingannya lagi dengan seseorang yang Vio cinta.

Tangan Yohan dengan lembut menggenggam kedua tangan dingin Vio yang berada di pipinya. Dirinya merasakan kehampaan saat mencoba menghilangkan perasaannya kepada Vio. Karena apa?

Karena Yohan berada titik dimana dirinya sudah berpegang teguh untuk menjadikan Vio sebagai satu-satunya gadis yang dia prioritaskan hingga akhir hidupnya.

Namun ini sia-sia, bahkan dirinya sudah tidak di beri jalan untuk mencoba kembali ke hati Vio lagi.

"Apa aku sudah benar-benar kau lupakan?" Vio mengangguk pelan.

Mendengar itu Yohan tiba-tiba tertawa kecil. Dia melepas seragamnya dan menunjukan sesuatu di dadanya yang kekar.

"Bisa melihatnya? Hahaha aku memang terlalu berharap darimu. Aku sudah terlalu jauh memikirkan mu. Bahkan hingga bermimpi untuk menikahimu dan membiayaimu di masa depan.

Tapi sepertinya ini ga bakal terjadi. Dan tato yang kamu lihat saat ini. Ini adalah bukti di mana hati aku bener-bener tulus buat kamu. Aku seharusnya menunjukkannya saat kita sudah menikah di kemudian hari. Tapi nyatanya tidak. Jadi-"

"Jadi Lo harus hapus tato itu" ucap Vio. Vio mencerna apa yang terjadi sebenarnya kepada Yohan. Bagaimana bisa dia sangat mencintainya.

Yohan tersenyum dan mengangguk, dia mengeluarkan cutter di sakunya lalu merobek kulitnya hingga nama gadis itu tidak bisa di baca lagi. Vio kaget melihat apa yang Yohan lakukan.

Dia menarik tangan Yohan untuk berhenti melakukannya. Dengan sigap dia menarik tangan lelaki itu menuju uks.

Sesampainya di sana, dia menyuruh Yohan untuk tenang. Dia memanggil penjaga UKS lalu meninggalkan Yohan.

Dirinya benar-benar syok dengan apa yang terjadi, lelaki itu benar-benar melakukan apa yang dia katakan.

"Sekali lagi aku merasa bersalah, tapi jika tidak seperti itu mungkin bisa saja Yohan masih berharap dengan cintaku... Jujur aku udah ga ada rasa sama dia"

Vio berjalan dengan melamun di sepanjang koridor, untuk kembali ke kelasnya kembali. Saat sampai terlihat teman-teman sudah duduk rapi sambil membaca bukunya. Dia bisa kita tau bahwa guru kelasnya yaitu Bu Anna sudah berada di kelas sedari tadi.

Bu Anna menatap Vio dengan kesal. Menyuruhnya untuk masuk dan berdiri di depan papan.

"Kemana saja kamu sedari tadi. Lihat bajumu kotor, ada noda merah juga disini. Apa yang kamu lakukan sedari tadi huh? Hingga lupa waktu"

"Maaf Bu..." Vio yang biasanya menjawab jika di marahi oleh guru killer nya seketika hanya bisa mengatakan permintaan maaf. Itu membuat Bu Anna juga bingung apa yang terjadi dengan Vio.

"Yasudah silahkan duduk. Ibu ada urusan jadi kalian bisa mengerjakan tugas ini sekarang dan di cocokkan besok dengan ibu"

Vio pun duduk di bangkunya. Tapi saat menoleh ke sebelahnya. Sahabatnya tidak ada di tempat duduknya. Kemana dia sekarang. Vio menjadi khawatir dengan keadaan Jesselyn, dia meninggalkannya sendiri di kantin waktu itu.

'semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dia-'

Belum selesai membatin tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras itu membuat perhatian seluruh orang di kelas termasuk Vio.

Ternyata orang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Jesselyn. Vio menatap lekat sahabat.

'Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa dia berantakan sekali'

Jesselyn berjalan sempoyongan dan duduk di sebelahnya. Gadis itu langsung menaruh kepalanya di atas meja dan memulaskan tidurnya.

"Hei! Apa yang terjadi? Lo kok berantakan banget"

"Sttt diem gue capek" Jesselyn terbangun untuk mengambil seragam olahraganya, menaruhnya di kursi dan mendudukkan pantatnya di sana. Lalu dia kembali tidur.

"Nanti anterin gue kerumah sakit"

Setelah berucap seperti itu, Jesselyn benar-benar tertidur dirinya benar-benar bingung dengan apa yang terjadi. Hari ini menjadi hari di mana perasaannya di permainkan.

Vio menghela nafas dan menaruh kepalanya di meja juga sambil memandang wajah sahabatnya yang terlihat aneh.

Terlihat bibirnya bengkak dan matanya sembab seperti miliknya. Matanya menjalar ke arah leher dan berhenti saat melihat ruam merah berbentuk bulat kecil.

'Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?'

Tbc.

CALON BANGTIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang