GERIMIS DI SUDUT KEDU - 4/5

182 23 3
                                    

Bab 4

Pembenaran

Gadis itu belum juga kutemui setelah kemarin sore. Aku sudah menyusuri jalan setapak yang biasa ia lewati menuju rumah, tapi sepi dan tidak ada satu bangunan pun di sana. Entah ada belokan lain yang menuju ke rumahnya atau apa, tapi selama hampir setengah jam mencari, yang kutemui hanya rumpun-rumpun bambu. Karena frustasi, tanpa pikir panjang aku menelepon Mas Nanang dan dia menyarankan agar aku pergi ke Kedu.

"Benar, Mas. Memang Ki Ageng Makukuhan ini yang menyebarkan Islam di lereng Sindoro – Sumbing. Mungkin Mas tahunya di daerah Sumbing, ya, soalnya juga makam petilasannya di sana. Padahal wilayah penyebarannya itu luas, hampir sekaresidenan Kedu. Sampai Magelang dan Wonosobo. Ini yang saya tahu dari mbah-mbah saya dan naskah Babad Kedu. Kalau Wonosobo saja juga termasuk wilayahnya Ki Ageng, harusnya Jayakersa yang lewat juga iya, ta, Mas."

Laki-laki seumuran Pakde itu beberapa kali menggerakkan jari yang mengimpit sepuntung rokok selagi kami menuruni tangga dari makam Ki Ageng Makukuhan. Hari masih pagi, tetapi sudah banyak peziarah yang datang ke makam sosok yang disegani itu. Maka kami memutusan turun setelah aku meminta waktu berdua untuk juru kunci itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membuat tak dapat terlelap semalam.

"Tapi sayangnya, ya, gitu, Mas. Kita cuma bisa mengandalkan cerita dan catatan seadanya karena orang dulu belum sadar pentingnya membuat catatan sejarah. Makanya saya senang sekali kalau Mas tertarik buat bikin skripsi terkait sejarahnya Ki Ageng Makukuhan. Biar ada arsipnya. Namanya siapa tadi, Mas?"

"Gatra, Pak."

"Gatra apa Galih?"

"Panggalih Gatra. Senyamannya Bapak saja mau memanggil saya Galih atau Gatra. Kalau teman-teman biasanya memanggil Gatra." Aku kembali memperkenalkan diri dan kami duduk di serambi bangunan kecil yang berada tak jauh dari gerbang makam.

"Gatra, ta," Pak Kus—Kusno begitu lelaki berperawakan kecil dan berkulit sawo matang itu memperkenalkan diri—mengeja "a" dalam namaku menggunakan "o" seperti pada kata "gorong-gorong". Mengingatkanku pada Simbah yang sering memanggilku demikian.

"Iya, Pak."

"Bagus namanya."

Aku tak menanggapi. Enggan memperpanjang basa-basi.

"Oh, iya, sampai mana tadi, Mas?" tanyanya.

"Sampai Wonosobo," sambungku. Aku sengaja tidak langsung menceritakan catatan yang kutemukan agar dapat memahami asal-usul semua ini perlahan, tapi Pak Kus terlalu santai untuk orang tidak sabaran sepertiku.

"Bapak tadi menjelaskan kalau Ki Ageng Makukuhan menyebarkan Islam sampai Wonosobo," ulangku. Merasa jawaban yang pertama terlalu ambigu.

Laki-laki bersarung abu-abu dengan kemeja putih itu mengangguk-angguk, lalu menekankan ujung rokoknya ke tanah. Suasana menjadi lebih serius.

"Ki Ageng Makukuhan atau kalau saya biasanya memanggil Sunan Kedu, beliau itu muridnya Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dan termasuk salah satu Santrisongo, penerus generasinya Walisongo." Pak Kus memulai cerita yang sudah biasa ia ceritakan berulang-ulang.

"Beliau keturunan Tionghoa yang nama aslinya Ma Kuw Kwan. Makannya sekarang dikenalnya Ki Ageng Makukuhan. Kalau Sunan Kudus dulu memberi nama baru Syarif Hidayat. Ada juga yang memanggil beliau Syeikh Maulana Taqwim. Ada juga yang bilang Jaka Teguh. Pokoknya kalau orang dulu itu namanya banyak, Mas. Biar gampang tak panggil Sunan Kedu saja, ya."

Aku menurut saja.

"Dulu, kan, penduduk sini masih memeluk Hindu-Budha dan memang rata-rata petani, Mas, makanya Sunan Kedu menyebarkan Islam pakai media cocok tanam. Bahkan, beliau sampai sholat di lahan terbuka biar orang-orang pada penasaran. Dan saat ditanya, beliau menjawab kalau sedang berdoa, meminta kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panenan yang melimpah. Atas kuasa Gusthi Allah, alhamdulillah diberikan. Tanamannya Sunan Kedu subur, melimpah ruah. Makanya orang mulai minta diajari berdoa dan sholat."

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang