Bab 3
Pembuktian
Selepas magrib, aku duduk santai di sofa kamar. Pintu kamar kubiarkan terbuka. Kemudian terlihat Jono melongokkan kepalanya dan meminta izin untuk masuk. Mau mengobrol, katanya.
"Mas, aku mau ngomong serius," katanya. Dengan dia yang menggunakan kata 'Mas' itu berarti dia memang benar-benar serius. Karena sejak Jono menginjakkan kaki di ibu kota, aku mengajarinya untuk meninggalkan logat daerah.
"Ada apa Jon?" timpalku dengan logat juga.
"Gini mas, hmm ... tapi Mas Bilal jangan marah, ya."
"Iya, tapi soal apa dulu?"
"Mas ada masalah berat, ya? Kok, tiba-tiba berubah rajin salat? Eh, maksudku, rajin salat bagus. Tapi aneh gitu lho, Mas. Perubahannya drastis kalo kulihat. Yang sebelumnya nggak pernah salat, tapi tiba-tiba salat. Bahkan lima waktu nggak pernah kelewat. Yang aku sama temen-temen kantor khawatirin itu, Mas salatnya nggak cuma di mushala. Tapi di sembarang tempat." Aku tahu arah pembicaraan ini.
"Jon, sebelumnya aku udah ceritakan alasannya ke kamu. Dan waktu itu kamu ngiranya aku lagi ngomongin skenario serial Ramadan. Aku yakin kamu nggak percaya, kan, kalo aku yang ngalamin itu?" Aku mengalihkan pandangan dan menerawang. "Bukan mauku untuk jadi kayak gini. Sampe nggak malu salat di bar. Aku lho ndak bisa ngendalikan tubuhku." Aku menghembuskan napas panjang.
"Temen-temen lain nyaranin buat konsultasi ke pskiater, Mas. Takutnya ini ada hubungannya sama kebiasaan minummu. Mereka juga khawatir kalo Mas itu rajin salat karena terlalu fanatik sama agama atau ikut aliran sesat."
"Ngawur kamu! Oke, masalah ini biar aku pikirin lagi nanti," ucapku cepat-cepat mengakhiri obrolan ini.
"Tapi inget ya, Mas. Kita begini bukan karena nggak suka atau benci, lho. Mas Bilal ini satu-satunya orang yang paling kupercaya di sini. Aku nggak mau Mas Bilal kenapa-napa. Aku pengin Mas sehat jiwa raga." setelah menyampaikan itu, dia keluar. Mendengar apa yang dikatakannya, perasaanku semakin bercampur aduk. Bahkan suara hujan di luar tidak membuatku melega.
Belakangan ini aku menjadi topik hangat di antara para karyawan. Banyak spekulasi yang bermunculan dan membuatku sedikit tidak nyaman. Aku merutuki nasibku yang seperti ini. Kenapa sih, jalan hidupku rasanya sulit? Padahal masalahnya hanya teleportasi, tapi bisa merembet ke masalah lainnya. Ini semua keterlaluan! Memangnya ini mauku untuk jadi orang sekonyol ini? Apa aku kurang jeli untuk melihat celah agar bisa terbebas dari masalah ini?
Sekarang ini isi kepalaku bertambah lagi bebannya karena terngiang obrolan bapak-bapak di kampung itu. Di satu sisi sebenarnya aku berniat untuk menampakkan diri dan memperingati mereka agar tidak perlu membicarakanku. Tapi di sisi lain, apa yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah.
Jadi dulu sewaktu jamannya kuliah, aku mulai penasaran rasa alkohol itu bagaimana. Sebab, teman-teman lain benar-benar menikmati minuman itu. Mereka seperti bahagia dan santai saat mengobrol. Kebetulan juga ada kakak kelasku saat di pesantren yang satu kampus denganku, menawarkan bir padaku. Dia bilang, minum bir itu bisa memunculkan insight baru yang tidak akan pernah terlintas sebelumnya. Bisa memperluas cara berpikir jadi lebih kreatif, lebih mudah dapat koneksi, dan stres hilang.
"Kalau mau buktiin apa yang kubilang, coba aja."
"Tapi kan ... waktu mondok kita diajarkan dalilnya kalau minuman begini haram, Mas," kataku yang masih polos.
"Bil. Kukasih tahu, ya. Semua pelajaran waktu kita ngaji itu nggak berguna di kehidupan nyata. Yang dilarang itu justru yang seru-seru. Pokoknya, kalo mau coba, coba aja nih sekarang. Tapi kalo nggak mau, ya, jangan pernah sekalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.