Chapter 1: Pemanah Mimpi
Bagi Naira, melukis sudah seperti napasnya. Semakin hening malam, semakin semarak isi kepalanya, semakin banyak warna-warna yang tertuang di sana. Matanya berbinar, kepalanya deras dialiri jutaan inspirasi, jari-jarinya lihai menari di atas kanvas seolah-olah tangan dan kuas itu adalah jodoh paling hebat yang pernah ada. Dia seperti tenggelam dalam dunia yang mana hanya ada dirinya, kanvas, cat, dan ratusan sketsa wajah dalam kepalanya yang mengantri untuk diwujudkan.
Dinding-dinding kamarnya yang sempit menjelma menjadi galeri yang dipenuhi ragam potret, buah dari imajinasi perempuan muda itu. Lantai kamarnya seolah tidak pernah lolos dari cipratan cat-cat dan menciptakan jejak di sana. Dan udara kamarnya kian pekat dengan aura asa yang membumbung pada setiap malam-malam yang hening.
Sejauh perempuan bersurai cokelat itu memulai karir melukisnya semenjak lulus SMA —yang mana sepertinya kegiatan itu belum pantas disebut berkarir— Naira belum pernah sekalipun memiliki keberanian untuk menunjukkan hasil karyanya di depan banyak orang. Kecuali hanya sebatas mengunggah beberapanya di media sosial, membiarkannya di sana, dan melupakannya dengan menciptakan karya baru. Beberapa teman yang dikenalnya di dunia maya kerapkali memuji hasil lukisannya yang demikian hidup, berkarakter, dan hampir mendekati sempurna dalam pandangan beberapa orang. Tetapi Naira tidak pernah dengan mudah menerima pujian-pujian itu, dalam kepalanya, lukisannya ibarat hanya debu di antara hamparan permata, sama sekali tidak istimewa.
Ada alasan di balik sikapnya yang demikian, dan alasan itu pula yang membuatnya terus menerus melukis. Dia ingin menciptakan mahakarya yang bisa diakui seseorang, dia tidak ingin mendapat pengakuan dari siapapun, kecuali ibunya. Ingatannya seolah terlempar pada beberapa tahun lalu setiap kali dia melukis. Selalu.
"Coba kamu sebutin siapa aja seniman-seniman besar dunia," pinta ibunya suatu hari.
"Ada Michelangelo, Picasso, Leonardo Da Vinci, Vincent van Gogh, Salvador Dali, dan masih banyak lagi. Fun fact, Bu, lukisan-lukisan mereka luar biasa dan lestari sepanjang zaman. Aku punya mimpi ..." Naira tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena ibunya lebih dulu memotong.
"Nah, ada enggak, seniman perempuan di antara seniman-seniman yang kamu sebutin tadi?" tanya ibunya yang membuat binar matanya meredup.
Dia pikir, ibunya mulai tertarik untuk berbincang tentang seni dengannya. Ternyata masih belum.
"Ibu kok nanya begitu, sih? Jelas ada dong, Bu. Ada seniman-seniman wanita yang karyanya diakui dunia. Lukisan Marie Antoinette dan ketiga anaknya adalah mahakarya Elisabeth Vigee Le Brun, pelukis berkebangsaan Prancis. Salah satu pelukis wanita yang paling produktif sepanjang karirnya. Eksistensi mereka mungkin sedikit tergeser sama sederet nama pelukis pria. Tapi bukan berarti dunia seni lukis cuma dikuasai kaum pria."
Naira tersenyum menyadari pertanyaan itu bisa dijawabnya dengan lugas. Dia ingin ibunya mengerti bahwa jenis kelamin bukan jadi penghalang untuk seseorang bermimpi besar.
"Logikanya, seniman wanita yang sudah punya nama saja tidak begitu menonjol eksistensinya, apalagi cuma kamu, Nak. Ibu bukannya enggak mendukung apa yang kamu cita-citakan, tapi, emangnya apa yang bisa diharapkan dari melukis, sih?" tanya ibunya skeptis.
"Kamu enggak akan jadi apa-apa di sana, lebih baik hadapi realita dan jangan membuang waktu, tenaga, pikiran, dan uang buat sesuatu yang belum jelas hasilnya. Lagi pula, menurut Ibu yang enggak paham seni aja, lukisanmu itu enggak punya nilai apa-apa buat dijual. Terlalu homogen, monoton, datar, dan menjemukan buat dilihat berlama-lama. Kamu jangan maksain sok jadi seniman kalau memang enggak punya bakat." Pada kenyataannya, mimpi setinggi apapun bisa dengan mudah ditebas oleh seseorang yang disebut keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.