PERTUNJUKAN KANVAS - 3/5

98 16 6
                                    

Chapter 3: Mata Baru

Barangkali, setinggi apapun jam terbang seorang seniman, mereka sesekali masih mengalami kebingungan dalam menghadapi sepotong kanvas. Naira mengalami ini lebih lama dari biasanya. Perempuan itu terpekur lama, mata cokelatnya memejam sesekali, dibetulkannya headphone yang bertengger di kepalanya —dia berharap apabila mendengarkan musik imajinasinya akan lebih baik— tetapi kepalanya seperti enggan memberi komando pada tangannya yang sigap dengan sebuah kuas.

Kembali Naira memandangi sosok yang akan dilukisnya dari layar ponsel, helaan napas berat keluar dari mulutnya. Dia tidak pernah merasa terbebani untuk melukis sebelumnya, namun, malam ini hobinya seperti berubah menjadi tekanan yang membuatnya ragu untuk menyulap kanvas. Ketakutan-ketakutan yang tidak semestinya, muncul begitu saja dalam kepalanya. Dia takut apabila lukisan pertamanya untuk klien tidak memuaskan, dia khawatir apabila tidak mampu memenuhi ekspektasi seseorang yang telah mempercayainya.

Tanpa membuang waktu lebih lama, Naira mulai menggambar sketsa dari apa yang akan dilukisnya. Pelukis yang terbiasa melukis tanpa sketsa itu, bahkan berprinsip untuk mengubah kebiasaannya tersebut untuk urusan ini. Sketsa seorang pria di atas panggung dengan lampu sorot, dan puluhan tangan yang mencoba meraihnya, tercetak di atas kanvas dan tengah dipandangi lamat-lamat oleh Naira. Kemudian perempuan dengan kaos oversize itu mencampur beberapa warna di atas palet, memastikan konsistensinya sesuai, lalu diusapkannya pelan kuas yang sudah tercelup cat itu di atas kanvas.

Jemarinya lihai menari, mencipratkan warna-warna hangat di atas kanvas. Setelah subyek utama, binar-binar lampu berwarna oranye digambarkannya dengan sempurna di sana, membuat pria dengan setelan jas itu seolah bermandikan cahaya, kemilau. Tanpa luput, dibuat sempurna pula tangan-tangan yang dianggapnya sebagai para penyanjung setia sosok di atas panggung. Lukisan yang tengah dikerjakannya ini berorientasi pada detail yang membuat seluruh konsentrasinya tercurah untuk itu, mata perempuan itu menyiratkan fokus yang mendalam. Entah butuh waktu berapa lama untuk Naira menyelesaikan lukisan pesanan pertamanya, rasanya enam jam bahkan masih tidak cukup untuk itu. Pelipisnya dihinggapi bulir-bulir peluh, turun perlahan melalui pipi tirusnya, membelainya hingga tiba untuk menetes di ujung dagunya yang lancip.

Malam seolah merangkak menemani Naira yang kian hanyut dalam tarian waktu. Sampai tibalah giliran kuasnya untuk memberi sentuhan akhir di area wajah sebagai penegas. Dalam pandangan Naira, sentuhan itu adalah penentu hidup tidaknya sebuah lukisan, terutama sentuhan pada mata. Satu titik putih di atas hitam rasanya tidak pernah sebermakna itu pada awalnya, sampai kemudian Naira menyadarinya setiap kali dia melukis. Titik putih itu adalah binar, nyawa dari sebuah lukisan —yang tidak pernah hidup secara harfiah, tapi bisa hidup dalam arti lain.

Tepat pada detik ketika Naira membuat binar pada mata subyek lukisannya, Naira seolah menjadi 'mata' yang sebenar-benarnya mata. Suatu fenomena aneh membuat Naira tahu apa saja hal-hal yang pernah dilihat dari subyek yang tengah dilukisnya. Mata itu pernah menjadi buta dari menyaksikan penderitaan, dari wajah-wajah penuh beban yang datang mengadu, dari sorot-sorot kesedihan dan kekecewaan mereka yang pernah datang. Mata itu hanya penuh binar ketika dihadapkan dengan kekuatan, kekuasaan, uang, dan wanita. Mata itu selalu memandang rendah kepada mereka yang miskin, yang lemah, yang tidak rupawan. Mata itu hanya bisa terbuka untuk mereka yang berpangkat, kaya raya serta rupawan.

Naira seolah tidak punya kendali untuk menghentikan penglihatan-penglihatan itu. Jiwanya seperti dibawa pergi entah ke dimensi mana, untuk kemudian bisa 'hinggap' entah pada apa dan siapa. Seperti halnya jiwanya, Naira juga seolah tidak punya kendali atas tubuhnya. Tangannya seolah memiliki kehendak sendiri, ketika kuas itu berhenti pada bagian telinga, kembali Naira menjadi telinga.

Naira mendadak sangat peka pada bunyi sekecil apapun. Perempuan itu seperti mendengar rintihan, teriakan, bahkan jeritan yang amat menusuk perasaan. Tidak berfungsi lagi headphone yang bertengger di telinganya, karena saat ini Naira tengah menjadi 'telinga' dari subyek yang ada dalam lukisannya. Satu-satunya yang tidak diambil alih adalah hanya hatinya.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang