Chapter 4: Sang Hamba
Ada gusar yang tak terbahasakan dalam hidup Naira Swastamita semenjak kanvasnya menampakkan pemandangan 'neraka' yang mengerikan. Perempuan itu tak lagi mampu memandang dunia sebagaimana sebelumnya. Hari-harinya tidak lebih dari suatu kumpulan mimpi buruk yang harus dihadapinya tanpa dia bisa mengelak, dan yang paling mengerikan dari mengalami mimpi buruk adalah ketidaktahuan kapan mimpi itu berakhir.
Dia tidak bisa beranjak barang selangkah dari sana, dari kubangan rasa ngeri yang kian menghimpitnya. Bayangan tentang neraka yang menyala dan membakar serta menyiksanya, seolah melumpuhkan seluruh sendi dan semakin nampak ketidakberdayaannya sebagai manusia. Lukisan terakhirnya seperti hantu yang membayangi dirinya di setiap sudut kamar, sebuah trauma besar telah tercipta tanpa pernah diduga, dan satu-satunya keinginan Naira saat ini adalah melupakan apa yang pernah dilihatnya hari itu.
Dia perlu mengalihkan pikirannya dari kengerian tersebut, dengan ratapan yang menyayat, disebutnya nama Tuhan, Allah. Kian deras air matanya mengalir, kian sesak dadanya bernapas. Sudah berapa lama dia melupakan Sang Maha? Mungkinkah apa yang tengah dialaminya kali ini adalah semata-mata agar dia kembali menyerahkan segenap hati, pikiran, jiwa dan raganya untuk Sang Maha yang telah ditinggalkannya begitu lama?
Dalam derasnya air mata penyesalan, Naira tersadar bahwa selama ini dia terlalu sibuk dengan hidup yang melenakan, dengan kesombongan yang tanpa disadari telah bertunas di hatinya, dengan dunianya sebagai pelukis amatir yang naif —yang berharap bisa menggantungkan hidupnya dari melukis— lalu dalam sekejap semesta menjungkirbalikkan segalanya. Semenjak hari itu, dia tidak ingin melihat lukisan-lukisan yang pernah menjadi kebanggaannya lagi, seluruh kebanggaan yang pernah bertengger di dadanya seolah luruh begitu saja oleh kengerian yang sangat. Dia memutuskan menjadikan kamarnya steril dari segala sesuatu yang berbau lukisan. Dengan susah payah, dia melepaskan segala yang menggantung di dinding kamarnya lalu menaruhnya di gudang rumahnya yang berdebu. Tetapi, apa yang dilakukannya hari itu tetap tidak mampu mengusir kengerian yang terlanjur menancap di alam bawah sadarnya.
Empat hari Naira mengisolasi diri, menghilang dari eksistensi seolah dirinya tidak pernah muncul dalam peradaban. Satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah ketenangan. Sambil mengingat-ingat apa yang pernah dipelajarinya dahulu, Naira melaksanakan salat yang kiranya akan dapat meredam segala macam gundah yang berkecamuk dalam dirinya. Perempuan itu luruh dalam sujud yang panjang, bibirnya bergetar mengucap tasbih, rupanya ada rindu yang selama ini dia abaikan dengan teramat sangat. Dia rindu menghamba, jiwanya adalah Sang Hamba dan selamanya akan tetap begitu.
Salam terakhirnya dalam salat ditutup dengan perasaan haru yang mendalam. Air matanya luruh lagi, isakan yang teramat menyayat keluar dari mulutnya yang tidak berhenti mengucap istighfar. Dalam tangisannya yang mengharu biru, Naira bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah dia satu-satunya manusia yang pernah begitu marah kepada Tuhan? Lalu amarah itu membuatnya ingin meninggalkan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. Kemudian kesombongan jiwanya membawanya tersungkur kembali di hadapan-Nya, meratap dengan penuh iba agar diakui kembali sebagai hamba.
"Astaghfiruka waatubu ilaih," lirih Naira.
Sedu sedan yang tak kunjung berkesudahan seolah kembali melempar ingatannya pada hari di mana sang ayah dijemput maut. Naira tidak pernah membayangkan kemungkinan itu, dia selalu mengusirnya jauh-jauh. Ayahnya segar bugar, lagipula masih terlalu muda untuk mati, pikirnya. Tetapi, maut memang tidak mengenal angka, syarat mati tidak selalu harus tua. Mata Naira dipaksa terbuka pada kenyataan bahwa dia harus menjadi yatim di usia remaja, musabab sang ayah menjadi korban kecelakaan tunggal di penghujung malam dengan hujan deras kala itu.
Jiwanya seperti dicabut paksa, semangatnya tidak lagi begitu membara dalam menjalani hidup setelahnya. Dia marah kepada Tuhan. Rasanya hidup sudah terasa sulit, kini semakin pelik karena ayah tidak lagi bisa jadi teman yang setia seperti yang pernah dijanjikannya dulu. Kesadarannya belum terbuka, bahwa makhluk memang bisa kapan saja meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
EspiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.