SATU KERLIP LAGI - 3/5

86 8 2
                                    

Bab 3: Dugaan

***

Rafid

Karena tergopoh-gopoh, aku tanpa sadar membanting pintu mobil dengan keras untuk kemudian langsung berlari melewati pagar rumah. Tahu bagaimana reaksiku ketika sampai di sana?

Tidak menyangka.

Terdapat dua pasang sepatu di depan pintu yang mana salah satunya aku kenali sebagai milik Halna. Sepasang lagi aku tidak kenal, namun siapa pun dapat menerka kalau itu milik laki-laki dewasa dari penampakannya. Jika pintu utama rumah ini terbuka, pemandangan pertama yang dapat dilihat dari ambang pintu ialah ruang tamu. Bagiamana wallpapernya yang bewarna putih dihiasi motif bunga kecil-kecil, bentuk sofanya, hiasan dindingnya, dan juga orang-orang yang berada di sana beserta kegiatannya. Pintu terbuka lebar ketika aku sampai dan semua itulah yang dapat aku lihat sekarang. Wallpaper putih, sofa bergaya minimalis, foto-foto di dinding, dan Halna yang tengah mengobrol santai dengan seorang laki-laki yang nampaknya hampir seumuran denganku.

Tidak ada kejadian "kritis" seperti saat aku mengikuti cahaya lampu di malam-malam sebelumnya. Aku masih termenung memandangi keduanya dari jarak satu meter dengan kondisi kepala penuh pertanyaan. Halna dan tamunya tengah mengobrolkan sesuatu yang nampak lucu terlihat dari bagaimana keduanya tertawa. Entah hal apa yang tengah mereka bahas, yang pasti tidak ada tanda-tanda ketegangan atau pun hal yang membahayakan.

"Mas Rafid?" Halna langsung berdiri dari duduknya ketika sadar akan keberadaanku. Wajahnya bingung, tak lama rautnya berubah menjadi kesal. Halna pasti mengira kalau aku sengaja mengabaikan peringatannya untuk tidak datang malam ini.

"Kamu nggak apa-apa, Na? Nggak ada hal buruk yang terjadi, kan?" Dengan pertanyaan ini pula Halna pasti mengira kalau aku sengaja datang untuk mengacaukan pertemuannya.

Halna menghampiriku yang masih berdiri terdiam. "Hal buruk apa, Mas? Orang dari tadi kita cuma ngobrol, kok," suaranya dibuat agak bisik-bisik. Aku tidak menjawab.

Tubuh Halna yang lebih pendek membuat aku masih bisa melihat leluasa ke arah belakangnya walaupun ia berdiri tepat di hadapanku. Pandanganku jatuh pada tamu Halna yang semakin kuperhatikan justru nampak tidak asing. Sepertinya kami pernah bertemu saat aku menghadiri acara family gathering dari kantornya Halna. Mereka satu kantor.

Halna sigap bergeser ke samping saat aku mulai terburu-buru melepas sandal dan berancang-ancang masuk, sadar bahwa ia akan tertabrak olehku jika masih berada di sana.

"Anak-anak mana?" tanyaku sembari celingukan mengecek setiap sudut rumah. Ruang tamu yang tadi kulewati, ruang keluarga, kamar Inggar yang terkunci...

"Inggar lagi belajar, ada ujian." Halna yang mengikuti langkahku di belakang sana bersuara.

Aku paham. Sekarang memang lagi musimnya ujian akhir semester. Beralih dari pintu kamar Inggar, aku lalu berjalan menuju pintu yang ada di seberang kanannya. Tanganku sudah akan menekan knopnya, seketika aku merasa disambar oleh kesadaran kalau ruangan ini sudah bukan areaku lagi. Mantan kamar kami ini sekarang menjadi kamar pribadi Halna yang mana aku tidak sepatutnya masuk tanpa diizinkan.

Seolah paham dengan pergerakanku yang tiba-tiba terhenti, Halna berkata canggung, "Di dalam ada Aska, masuk aja kalau mau ketemu. Aku mau balik ke depan dulu." Halna balik badan dan berjalan ke ruang tamu tanpa melihat lagi bagaiamana reaksiku.

Begitu membuka pintu, aku langsung mendapati Aska—putraku yang berumur sepuluh tahun— tengah fokus mengisi buku paketnya di atas kasur. Sangat fokus sampai-sampai ia tidak menyadari kedatanganku.

"Ekhem!"

Aska tersentak begitu mendengar suara dehaman yang kubuat secara sengaja untuk menjahilinya. "Ayah!" Ada keterkejutan di mata itu saat pandangan kami bertemu. Dengan terburu-buru ia bangkit dari posisi terlungkup lalu meloncat turun dari ranjang.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang