GERIMIS DI SUDUT KEDU - 1/5

373 29 2
                                    

Asslamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, siang, sore, malam, atau kapan pun ketika teman-teman membuka halaman ini. Perkenalkan, aku Linda Lidiasari, pemilik akun Wattpad  lyndia_sari  yang dapat rezeki buat nitip kenangan di lapaknya Kak Sahlil Ge.

Sebelumnya, aku mau ngucapin banyak-banyak terima kasih buat Bang Ge yang udah ngasih kesempatan buat belajar nulis bareng temen-temen yang lain di project ini. Makasih juga buat temen-temen seperjuangan yang udah saling support. Dan tak lupa, makasih banyak buat teman-teman yang sudah berkunjung ke sini.

Selamat menjelajah bersama Gatra!

***

Bab 1

Gerimis dan Gadis dari Pesarean

Tidak banyak yang berubah dari kota itu. Gapura Jayakersa masih berdiri dengan bentuk dan warna yang sama menyambut kedatangan orang-orang di perbatasan kota. Sengak dari jemuran rajangan tembakau yang berjajar di pinggiran jalan masih menjadi aroma khas setiap musim kering. Di antara semua hal yang membangkitkan rasa kangen akan kota itu, suara Mbah Muh sayup terdengar dari sepiker surau tua. Setelah tujuh tahun tak menginjakkan kaki di Jayakersa, setengahnya aku masih tak menyangka jika sosok lelaki tua itu akan menjadi alasanku untuk kembali.

"Jayakersa lagi panas, Lis. Orang-orang pada curiga sama Mbah Muh karena duit penjualan tembakau enggak turun-turun. Kalau ditagih, banyak aja alasannya. Katanya belum bisa masuk pabrik, kualitasnya jelek perlu dipilih-pilih, malah ujung-ujungnya banyak yang dikembalikan setelah dibongkar. Gimana bisa tembakau kita yang sudah dijadikan langganan ratusan tahun tiba-tiba dibilang kualitasnya jelek? Itu pasti akal-akalannya Mbah Muh sama Koko saja." Kurang lebih begitu yang disampaikan Mas Nanang kepada Bapak lewat telepon kemarin sore.

Mas Nanang meminta Bapak menengahi kekisruhan yang tengah terjadi. Ia tahu betul jika Bapak punya banyak relasi dalam perdagangan. Entah itu hasil sawah atau perkebunan, Bapak selalu punya orang yang mau menerima barangnya.

"Ayo, Lis, Sulis. Nanti aku yang ngurusin sama taninya, kamu sama pabriknya. Ini orang-orang sini juga mulai ngomongin kamu. Ngarep-arep buat kamu pulang ke Jayakersa."

"Ah, males aku," tolak Bapak waktu itu. Bagaimanapun, atas dasar alasan apapun, Bapak sudah berjanji untuk tidak lagi kembali ke Jayakersa.

Pertikaian Bapak dan Pakde karena masalah perdagangan masih menjadi dendam bagi keduanya. Bapak ketika itu berinisiatif turut berdagang sayur sedangkan Pakde yang telah bertahun-tahun bekerja dengan Mbah Muh tak rela adiknya tiba-tiba menjadi saingan juragannya. Adu mulut kedua saudara itu berakhir dengan Bapak memboyong keluarganya ke Semarang. Menjual rumah warisan dan ditukar dengan bangunan berukuran 6 m x 14 m di perumahan daerah Tembalang.

"Kamu enggak perlu mikiran Mbah Muh sama kakangmu. Tak jamin mereka enggak bakal berani macam-macam sama kamu." Sebanyak apapun Mas Nanang mencoba mengalahkan ego Bapak, lebih banyak lagi Bapak mengeluarkan berbagai alasan untuk tetap pada pendiriannya.

Akhirnya, Ibu yang mengutusku untuk kembali ke Jayakersa. Tawaran bisnis dari Mas Nanang tak ayal mencuri perhatian Ibu. "Bilang aja mau nyekar kalau ditanya Pakde." Begitu pesan Ibu.

Aku sebenarnya tak banyak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan. Namun, rumor yang disebarkan Mas Nanang di akhir percakapan sepenuhnya menyita perhatianku.

"Kamu baca kiriman di Facebook yang lagi geger kyia ngaku-ngaku jadi keturunan penyebar Islam di kulon Kedu itu, Lis? Iku Mbah Muh."

Benar analisisku. Sebuah kota kecil di sudut Kedu dan kyia yang membuat sejarah palsu adalah Jayakersa dan Mbah Muh. Rumor yang belakangan menjadi rebutan topik penelitian mahasiswa semester tua sepertiku sejak pertama kali unggahan dari sebuah akun anonim naik di beranda kami.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang