GERIMIS DI SUDUT KEDU - 5/5

276 23 10
                                    

Bab Terakhir

Jarak Antara Gerimis dan Hujan

Mas Gatra di mana? Rumah Mbah Muh geger.

Aku sontak menelepon Mas Nanang ketika sebuah pesan itu masuk. Dan dia langsung menjawabnya dengan suara gaduh terdengar sebagai latar belakang. Tanpa pikir panjang, aku bergegas kembali.

Kepulan asap dari tumpukan tembakau kering yang dibakar di depan rumah cukup menggambarkan kekisruhan yang ada. Aku lekas masuk ke rumah Mbah Muh setelah mematikan mesin mobil, lalu diikuti dengan Pak Kus yang kuajak serta.

Suasana di dalam rumah dapat dibilang jauh lebih baik dibanding sisa-sisa kemarahan yang tertinggal di halaman depan. Karpet bludru meteran tergelar di lantai ruang tamu telah penuh oleh petani dan beberapa orang penting lain. Pak RW dan Pak Kaum turut hadir di sana. Aku mengambil tempat kosong di samping Pakde. Lelaki itu tampak pucat berkeringat. Bergeming. Terlihat begitu ketakutan menjadi sasaran warga.

Pak RW sebagai juru bicara angkat suara. "Saya paham jika tradisi ini sudah berjalan turun-temurun dari leluhur kita. Bahkan mempercayakan semua hasil bumi Jayakersa kepada Mbah Muh dan Koko sebagai keturunan orang penting di Jayakersa pun rasanya tak cukup membalas utang budi di masa lalu. Namun, akhir-akhir ini kami benar-benar keberatan ketika Mbah Muh tiba-tiba selalu membawa pulang dagangan dan mengatakan semuanya tidak laku. Padahal hal ini belum pernah terjadi sebelumnya," mulainya.

"Kami juga terusik dengan harga segala macam hasil panen yang Mbah Muh berikan selalu berada jauh di bawah harga pasar. Bahkan hampir setengahnya. Belum lagi uang hasil penjualan yang harus kami tunggu berminggu-minggu. Atau kalau tanaman musiman seperti tembakau dan kopi justru bisa sampai berbulan-bulan hingga setahun. Ingin menagih pun segan karena kami sangat menghormati Mbah Muh dan Koko. Kami harap Mbah Muh bisa menawarkan solusi yang sama-sama enak. Saya kasihan sama Pak Sutrisno yang malah sering ditagihi uang."

Benar kata Pak RW. Wajah Pakde sekarang bahkan sudah sepucat dan sekusat kertas. Ia tidak berani berkutik barang sedikit. Hanya menunggu pembelaan dari Mbah Muh.

"Saya turut prihatin dengan apa yang menimpa kita belakangan ini," Mbah Muh membuka suara, "bukannya menyalahkan kehendak Gusthi Allah atau gimana, tapi kita juga sama-sama tahu kalau cuaca belakangan ini tidak menentu. Kadang kelihatannya mau panas, tapi belum sampai azan zuhur tiba-tiba sudah hujan. Saya rasa juga Bapak-Bapak sudah paham, kan, tembakau kalau wis konangan udan jadinya seperti apa? Rusak. Yang di sawah mingsri-nya hilang, yang dijemur tidak kering.

"Sebenarnya saya juga sedikit kecewa dengan tanggapan para petani. Kami, terlebih Pak Sutrisno sudah berusaha keras negosiasi dengan Koko untuk tetap menerima hasil panen dari Jayakersa. Koko pun mencoba maklum dengan menerima hasil panen kita, walau harus dimasukkan ke kelas bawah dan beberapa memang harus terpaksa ditolak karena kualitasnya yang benar-benar berada di bawah batas penerimaan. Tapi setelah semua usaha itu, kok malah seperti ini yang diterima Pak Sutrisno?

"Koko juga butuh waktu untuk bisa mengupayakan tembakau kita masuk gudang sebagai campuran. Makanya uang yang kita terima selalu telat. Ini sudah saya jelaskan berkali-kali juga. Padahal Koko mudah saja kalau mau cari pemasok lain, tapi beliau menghargai hubungan keluarganya dengan Jayakersa yang sudah dibangun beratus-ratus tahun. Bagaimana bisa kita malah menaruh prasangka buruk ke Koko setelah semua apa yang beliau usahakan?"

Seisi ruangan mendadak hening selepas Mbah Muh mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini dipendamnya. Namun, entah Mbah Muh ini dasarnya terlalu polos atau wajah dan tuturnya yang terlalu hebat dalam sandiwara, semua orang di sana justru merasa iba. Seperti murid ngajinya yang tertangkap basah melakukan kesalahan, mereka mulai tak yakin dengan semua tuntutan yang sempat diandarkan. Dan, ini tentunya tak dapat lagi dibiarkan.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang