SATU KERLIP LAGI - 2/5

73 7 1
                                    

Bab 2: Kepingan Kisah Masa Lalu

***

Rafid

"Pak Rafid gimana? Mau langsung pulang ikut mobil jemputannya Raka atau mau gabung makan malam dulu sama kita-kita?"

"Saya langsung pulang bareng Raka, ya, semuanya. Sorry banget nih jadi nggak bisa ikutan." Aku menyampaikan kalimat itu dengan nada penyesalan. Lalu aku melirik Raka yang sedari tadi nampak menunggu jawaban tepat dariku. "Ka, Mas-mu nggak apa-apa kalau saya minta tolong anterin ke rumah?"

Kepala Raka mengangguk cepat. "Nggak apa-apa dong, Pak. Lagian rumah kita searah kan, Aman pokoknya."

Aku tersenyum. "Ya sudah kalau begitu. Semuanya, saya dan Raka pulang duluan, ya."

"Pulang duluan ya, semuanya," pamit Raka pada rekan-rekan satu divisi kami. Divisi Internal Auditor.

Aku dan Raka berpisah dari ketiga rekan yang lain setelah melewati pintu keluar bandara. Raka katanya harus cepat-cepat pulang karena Omanya yang dari Jogja datang, sedangkan aku harus cepat-cepat pulang karena sedari tadi Halna sudah menerorku melalui SMS.

Mas, kalau sudah landing kabarin aku ya.

Itu pesan pertama.

Mas, kalau sudah landing langsung pulang aja. Aku takut di rumah sendirian, Mas.

Mas, sudah jam 11. Belum landing ya?

Mas, nanti nggak usah ikut makan sama anak-anak divisi ya.

Halna yang paling tahu kebiasaan divisiku setiap pulang dari luar kota setelah mengaudit. Makan malam bersama untuk merayakan usainya prosesi hinggap sana-sini kami menjelang akhir tahun. Kebetulan aku dan Halna pakai operator yang berbeda, sedangkan operator yang kugunakan hanya bisa mengirim pesan gratisan ke operator yang sama. Alias aku lupa mengisi pulsa. Jadi saja pesan Halna hanya kulihat tanpa kuberi balasan padanya.

Masih jam sebelas juga, pikirku. Perjalanan dari bandara ke rumah kami hanya memakan waktu sekitar 20 menit, kalau ngebut bareng Mas-nya Raka bisa kepangkas lima menit lagi dari perkiraan pertama. Sayangnya malam itu terjadi kecelakaan mobil tunggal yang menyebabkan jalanan macet. Alhasil aku sampai di rumah menjelang pukul dua belas malam.

Para suami mungkin akan langsung membayangkan bagaimana istri mereka ngomel-ngomel panjang karena mereka telat pulang. Dengan kondisi pesan istri tidak dibalas pula. Namun aku tidak membayangkan hal-hal tersebut karena tahu Halna bukan tipikal yang seperti itu. Halna perempuan paling tenang yang pernah aku kenal. Paling berani juga. Genre film favoritnya saja thriller crime. Aku sampai pernah bertanya bagaimana bisa dia makan lahap sambil menonton adegan kekerasan berdarah-darah. Halna menjawab, "Lagian cuma film, Mas. Darahnya nggak beneran itu, kayaknya pakai pewarna makanan deh."

Setelah memutar anak kunci serep dan menguak pintu ruang tamu, jantungku rasanya ingin merosot ke perut saat mendengar sayup-sayup tangis perempuan. Mencoba tenang dan kembali memfokuskan pendengaran, aku kemudian sadar kalau tangisan itu berasal dari Halna. Kudapati Halna yang duduk meringkuk memeluk lutut di atas springbed kamar kami. Ia buru-buru turun dari kasur saat melihatku muncul di ambang pintu.

"Na, hati-hati, ih. Kamu lagi hamil mana boleh turun ranjangnya grasak-grusuk kayak gitu."

Halna memukul dadaku. "Kamu tahu nggak dari tadi aku rasanya mau mati sangking ketakutan. Kenapa pesanku nggak dibalas?"

Dahiku mengernyit. Bingung. "Na?" Kudorong bahunya perlahan untuk mengurai pelukan kami. "Ini kamu beneran nangis karena takut? Takut apa coba?"

"Takut rampok."

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang