Apa ya jadinya jika di dunia ini tidak ada pohon sama sekali?
Pernah suatu ketika Abi memiliki pertanyaan random seperti itu. Pasalnya, yang selalu dia lihat dengan kemampuannya adalah berbagai macam pohon yang mencerminkan doa-doa dari pemilik tangan yang pernah dia pegang. Mengapa harus pohon? Tidak bisakah dalam bentuk lain saja? Dan mengapa pula harus dirinya yang memiliki kemampuan seperti itu? Perasaan dia tidak sesaleh nabi, wali, bahkan ustadz sehingga diberikan hak istimewa oleh Tuhan.
Masalah Bimo sudah terselesaikan. Belum sepenuhnya, sih. Setidaknya Bimo sudah mulai mengubah cara berdoanya kepada Yang Maha Kuasa. Dia mulai beribadah dengan khusyu, lillahi ta'ala. Menaruh semua masalahnya pada sujud terakhirnya, mencoba percaya bahwa rencananya Tuhan jauh lebih indah. Abi mengetahuinya ketika Bimo sedang menginap di kamarnya dan terbangun pada sepertiga malam. Meskipun lirih, namun Abi dapat mendengar betapa tulusnya tangisan di sujud terakhir itu.
Hari berikutnya berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Abi yang masih dengan diamnya berteman dengan Bimo yang banyak omongnya. Namun, sekarang Bimo membiasakan diri untuk pulang ke rumahnya serta banyak latihan menjelang pertandingan futsalnya. Sehingga akhir-akhir ini interaksi keduanya mulai berkurang.
"Saya solat dulu ya, tadi belum sempat solat habis ngajar yang lain" Khanza langsung izin menuju ruang salat.
Semenjak insiden tangan yang tidak sengaja dipegang, Khanza mengusulkan agar belajarnya pindah di ruang tamu. Setidaknya masih ada lahan yang luas dan terang benderang ketika mereka diharuskan untuk berduaan kembali.
"Kok aneh solatnya?" Abi bertanya dalam hati ketika melihat Khanza sedang salat.
Tidak sengaja Abi melihat Khanza di ruang salat ketika hendak ke ruang tamu. Bukan aneh dalam artian gerakannya yang berbeda. Namun, gerakannya terlalu cepat. Seperti tidak dihayati setiap bacaannya dan sedang diburu oleh waktu. Padahal Abi tidak masalah menunggunya salat dengan waktu yang lama. Apalagi ini Khanza tidak pakai doa dan dzikir, langsung melipat mukenahnya.
"Kok cepet banget mbak solatnya?," tanya Abi kepada Khanza usai dia menuju ruang tamu terlebih dahulu.
"Kan harus ngajar kamu. Nanti waktunya berkurang, dikiranya saya korupsi waktu," Dalih Khanza dalam menjawabnya.
Belum sempat menanggapi, Khanza langsung membuka sesi lesnya. Kali ini tanpa ditemani oleh Bimo. Saling diam jika tidak ada yang perlu dibicarakan. Dalam diamnya, Abi mengingat pohon yang dimiliki oleh Khanza. Apa perlu ya Abi juga menasehati Khanza seperti yang dia lakukan kepada Bimo?
"Padahal saya bisa nunggu mbak Khanza solat dulu. Nanti tinggal bilang bunda aja kalau mbak Khanza izin solat dulu, jadi enggak dikira korupsi waktu," Abi mulai bersuara.
Entah ini berhasil atau tidak, yang penting Abi berusaha dulu. Dalam kepalanya justru terisi oleh diksi-diksi yang harus dia ucapkan, daripada rumus-rumus untuk mengerjakan soal-soal di depannya.
"Mbak Khanza pernah ngerasa nggak sih kalau sedang dirindukan oleh Tuhan? Tuhan juga Maha Merindu loh, mbak. Lebih merasa rindu dibandingkan dengan Dilan yang merindukan Mileanya," Suara Abi memecahkan keheningan.
Abi mencoba menjedanya, karena jujur dia tidak tahu permasalahan yang sedang menimpa Khanza. Abi justru takut jika nanti sarannya tidak sesuai dengan permasalahan yang menimpa Khanza.
"Apa pantas orang seperti saya dirindukan oleh Tuhan? Justru saya merasa Tuhan sedang benci kepada saya, karena Dia malah memberikan kepada saya ujian yang bertubi-tubi," jawab Khanza mulai menghentikan sejenak segala aktivitasnya.
Tanpa Abi duga, ternyata Khanza menjawab pertanyaannya itu. Apa karena itu ya sehingga pohon-pohon yang dimiliki Khanza menjadi kering, bahkan ada yang telah menjadi abu? Udara di sekitarnya pun terasa panas tanpa ada oksigen sama sekali. Apalagi bentuk pohonnya, lebih seram daripada pohon di rumah hantu yang pernah Abi lihat.
"Justru ujian-ujian itu sebagai tanda rindunya Allah kepada hamba-Nya, mbak. Dia ingin agar hamba-hamba-Nya berserah diri hanya kepada-Nya, menyerahkan segala masalah di dalam sujud terakhir."
Abi tak langsung melanjutkan kata-katanya. Dia juga punya tanggungan untuk mengerjakan soal-soal di depannya ini. Sebenarnya Abi sudah hafal rumus-rumus yang hendak dipakai untuk mengerjakan soal-soal itu, tapi dia juga perlu teliti lagi, salah angka dan tanda sedikit saja, bisa buyar usahanya dari tadi.
"Mungkin, Allah tak mengabulkan doa-doa kita itu bukan karena Dia tak menyayangi kita. Mungkin cara kita berdoalah yang salah, atau justru doa kita yang mustahil terwujud jika tanpa dibarengi dengan usaha," Abi menjawab dengan memberikan buku latihannya untuk diperiksa Khanza.
Khanza tak menyaut, dia justru fokus memeriksa hasil pekerjaan Abi. Abi ini sebenarnya pintar tinggal dipoles sedikit aja. Khanza sendiri tak berani menyauti omongan Abi itu, justru dia merasa heran kepada Abi yang banyak omongnya.
Sebenarnya Abi tidak merasa ada yang berubah dalam dirinya. Dirinya dari dulu sebenarnya suka berbicara dengan siapapun. Namun semenjak tidak ada yang mempercayai kemampuannya, dan dia mulai dijauhi oleh orang lain, dia merasa tidak ada manfaatnya jika berinteraksi dengan orang lain.
Lama mengurung diri, membuat Abi tidak merasa berarti memiliki kemampuan istimewa dibandingkan dengan yang lain. Bahkan dia tidak berminat untuk mengurusi urusan orang lain. Namun, ketika melihat orang di sekitarnya berbuat salah, lubuk hatinya menuntun dirinya untuk membantunya.
"Kita juga perlu merawat doa-doa kita, mbak. Seperti jika kita hendak menanam pohon. Doa-doa itu juga perlu diberi pupuk agar mendapatkan nutrisi sehingga dapat tumbuh dengan subur. Tidak perlu pupuk yang mahal, hanya cukup dengan dzikir mengingat-Nya. Banyak sekali dzikir yang membuat jiwa ini tentram," Abi menjeda sebentar mengambil camilan dan suguhan untuk Khanza.
"Jika jiwa kita tentram, maka InsyaAllah pohon doa kita akan tumbuh dengan subur. Jangan lupakan juga sinar matahari dengan ikhtiar kita yang akan menyinari pohon-pohon itu agar pohon-pohonnya dapat tumbuh sesuai dengan keinginan kita, si penanam doa," Abi menjelaskan sambil menyomot camilan di depannya.
Sebenarnya apa yang dikatakan Abi tadi sudah menjawab pertanyaannya yang lalu. Karena doa sama seperti pohon yang perlu kita rawat dengan hati yang tulus. Merawatnya pun butuh kemampuan yang khusus, agar bagian dari pohon doa itu dapat dimanfaatkan oleh sang penanam pohon doa itu.
"Bahkan salah satu perawi hadist ada yang mengatakan bahwa kelak kita akan ditanamkan pohon kurma di surga apabila membaca, 'subhanallah Hi wabihamdihi', Mahasuci Allah dengan memuji-Nya. Betapa hebatnya dzikir sehingga membuat kita mendapatkan pohon kurma di surga," Abi bersuara dengan menambahkan hadist riwayat imam At-Tirmidzi.
"Bukan hanya pohon kurma saja yang kelak akan kita dapatkan. Kita akan mendapatkan sesuai dengan bibit dzikir yang telah kita ucapkan di dunia. Karena dengan dzikir kita akan terus mengingat Allah dimanapun dan kapanpun kita berada, sehingga dapat mencegah kita dalam berbuat kejahatan," Abi mengakhiri perkataannya dengan senyuman.
Tugas Abi hanya mengingatkan. Dijalankan atau tidak itu urusan Khanza. Mungkin dia juga perlu berulang-ulang menggaungkan hal yang sama kepada Khanza.
Abi sendiri sebenarnya merasa tidak berhak untuk menasehati orang lain, apalagi jika usianya di atas usianya. Namun, bukankah ini jalan dakwahnya? Apakah ini maksud Tuhan dengan memberikan kemampuan di luar nalar manusia? Dengan ini dia bisa membantu masalah orang lain.
Mungkin Abi tidak bisa membantu menyelesaikan masalah mereka sepenuhnya, karena jalan penyelesaian masalah setiap orang berbeda-beda. Abi hanya bisa mengarahkan cara berdoa yang benar, dengan doa kita akan mengandalkan Tuhan dalam berbagai macam situasi.
Dari sini Abi menemukan kebermaknaan serta sisi spiritual dia yang lama telah menghilang. Bahwa jika kita merasa beban masalah kita berat, itu bukan karena beban masalahnya yang bertambah volume, justru kita yang terlalu lama membawanya. Kita perlu menggugurkan beban-beban itu melalui sujud dan doa kita. Hanya kepada Allah kita berserah diri. Tidak cukupkah Allah sebagai tempat bergantung hamba-hambaNya?
Dari sini, Abi mulai melepas handsocknya. Dia sudah siap membantu para penanam doa di luaran sana. Mungkin Tuhan juga sedang cari perhatian kepada hamba-Nya. Tugas Abi adalah mendekatkan hubungan hamba dengan Tuhannya.
-TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.