Bab 4: Terungkap
***
Halna
Mas Rafid used to be someone I adore the most. Jawaban ketika aku ditanya alasan yang membuatku yakin menikahi Mas Rafid tidak pernah berubah. Aku suka ia yang gigih dan bagaimana ia selalu bisa melihat sisi positif dari hal yang sedang dihadapi.
Selama proses pendekatan kami, aku jadi tahu kalau Mas Rafid membangun karirnya di perusahaan tempat ia bekerja dari awal sekali sebagai anak magang. Mas Rafid memang tipikal mahasiswa yang tidak bisa diam. Ia banyak menghabiskan waktu di luar jam kuliah untuk mencari peluang magang atau pekerjaan paruh waktu, kegiatan yang berkaitan dengan pengalaman profesional. Sedangkan aku sendiri, aku lebih banyak berkegiatan di bidang sosial dengan bergabung dalam organisasi kerelawanan. Mas Rafid seseorang yang berorientasi pada target masa depan, aku orang yang lebih menikmati hal bermakna yang saat ini bisa aku lakukan. Kami berbeda, tapi kami selalu sadar untuk mengahargai kehidupan pribadi masing-masing hingga perbedaan itu tidak membuat kami jatuh ke lubang pertengkaran panjang. Masa pendekatanku dengan Mas Rafid terbilang cukup singkat, namun hanya aku dan Mas Rafid-lah yang tahu kalau ada banyak topik penting yang kami bahas dalam waktu singkat itu demi keberlangsungan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.
Mas Rafid yang aku tahu selama masa pendekatan tidak jauh berbeda dengan Mas Rafid yang bersamaku saat memasuki dunia pernikahan. Atas keputusanku sendiri, setelah menikah aku sudah tidak pernah lagi mengikuti kegiatan kerelawanan di organisasi. Alasannya karena di hari Senin sampai Jumat aku bekerja, aku hanya punya waktu untuk jalan-jalan bersama Mas Rafid di hari Sabtu, sedangkan hari minggunya selalu kami habiskan di rumah dengan beristirahat dan mempersiapkan energi menghadapi hari Senin lagi. Meski begitu, selalu ada satu hari di setiap bulan—tepatnya setelah Mas Rafid menerima gaji—di mana ia akan mengajakku mengantarkan donasi ke panti asuhan sekaligus berkegiatan dengan anak-anak di sana, atau kami akan mencari masjid-masjid di luar daerah yang sedang dalam tahap pembangunan. Aku memang sudah tidak pernah lagi mengikuti kegiatan kerelawanan, namun bepergian seperti itu bersama Mas Rafid lebih dari cukup untuk mengobati rasa rinduku.
Sampai kemudian cobaan semacam itu datang ke pernikahan kami yang sudah berjalan lima belas tahun.
"Sampai kapan kamu mau pasrah dan nyalahin keadaan gini, Mas? Aku... hampir nggak kenal kamu lagi."
Perkataan yang selama berbulan-bulan aku tahan akhirnya keluar juga. Sosok yang dahulu penuh dengan kegigihan dan pikiran positif seperti menghilang di telan bumi, digantikan oleh Mas Rafid yang hampir setiap hari mengeluhkan keadaannya yang masih belum mendapatkan kerja lagi.
"Nasib aku jelek banget, Na."
"Aku sudah ngelamar ke perusahaan sana-sini dan nggak dapat panggilan satu pun. Nasibnya sudah begini, aku harus gimana lagi, coba?"
Saat itu aku telah berada di titik lelah mendengar kata "nasib" keluar dari mulut Mas Rafid, karena setiap kali kata itu keluar, selanjutnya ia akan mulai membandingkan karirnya yang "kandas" dengan pencapaian-pencapaianku di kantor. Aku bisa paham kalau masa-masa seperti itu berat untuk dilewati oleh laki-laki yang telah menjadi kepala keluarga, harga diri dan rasa percaya diri mereka bisa menjadi rendah seketika. Terutama untuk Mas Rafid yang telah membangun karirnya di perusahaan dan bidang yang sama dari semenjak duduk di bangku kuliah. Pekerjaan itu sudah menjadi setengah dari hidupnya. Menurutku, sikap terbaik yang bisa aku lakukan sebagai istri ialah memberinya support di setiap langkah yang akan ia ambil. Kondisi keuangan kami setelah Mas Rafid di PHK tidak bisa dibilang "aman" juga, namun juga tidak seburuk itu sampai-sampai aku harus menuntutnya bersegera mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sama seperti di kantornya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritüelKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.