Welcome to the final chapter of Klandestin, Guys!
Waah ... rasanya legaaa banget.
Terima kasih buat semua yang sudah membaca Klandestin. Semoga kita sama-sama dapat manfaatnya.
Ini akan jadi bab terpanjang dari 5 bab cerita ini. Jadi persiapkan diri, yaaa.
Kalo orang sakit datang ke dokter itu ngapain, sih? Bertobat, ya?? :)
***
Bab 5
Semesta Berahasia
Lama kupandangi bagian depan panti ini. Seraya berpikir, ada petunjuk apa di sini? Aku diperlihatkan lagi kelebatan waktu yang terus mundur di depan mata. Sampai pada hari di mana bosku datang ke panti ini setelah mengadakan penggalangan dana untuk korban banjir. Kuperhatikan dengan seksama semua yang dilakukannya di tempat ini. Dari kalender, bisa kupastikan ini adalah tahun ketiga aku bekerja dengannya. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, tapi pemilik yayasan itu memberikan buku besar yang berisi catatan para donatur. Dari semuanya, ada dua donatur yang tidak mencantumkan nama. Hanya ada nomor rekeningnya saja. Dia melihat salah satunya, dari raut wajahnya bisa kutebak jika dia merasa familiar dengan susunan angka itu.
"Pak, kalau boleh, bisa beritahu saya siapa pemilik nomor rekening yang ini," katanya sambil menunjukkan bukunya, "Bapak tahu, tidak?" Sepertinya bos penasaran karena nomor rekening itu selalu muncul di setiap bulannya selama setahun itu.
"Itu dia, Mas. Saya juga tidak tahu. Tapi, yang saya ingat setahun yang lalu, sebelum nomor rekening itu mentransfer donasi, ada yang menelepon. Dia bertanya tentang keadaan panti ini seperti apa, Mas. Kalau dari suaranya, beliau itu laki-laki. Dan saya perkirakan, mungkin usianya masih dua puluh tahunan. Itu juga kalau benar dia, Mas. Sebenarnya saya juga ingin tahu siapa donatur tersebut. Karena selalu rutin setiap bulan. Tapi saya pikir lagi, mungkin beliau itu orang baik yang tidak ingin diketahui identitasnya," jawab si pemilik yayasan.
Ada yang belum kuberitahukan, di kantor, orang yang mengatur penggajian memang bagian HRD. Tapi untuk bonus tambahan—semacam bentuk apresiasinya terhadap karyawan yang kinerjanya ia akui—, itu bos sendiri yang memberikannya via transfer bank. Saat tanggal gajian itulah dia akhirnya menemukan susunan angka rekening yang sama dengan yang di panti. Di situ tertulis, Bilal.
Hatiku memaparkan kata-kata dari sosok itu, Tidak aneh bosmu memberikan kelebihan gaji dan selalu memperlakukanmu dengan baik. Dia mempercayaimu sebagai orang baik dan tidak pernah menyesal telah menerimamu sebagai karyawannya.
Dalam sekejap, aku berpindah lagi ke sebuah reruntuhan bangunan. Aku mengira ini adalah bangunan yang terkena bom, tapi kata sosok itu bukan. Katanya lagi, ini adalah masjid di kampung nelayan. Pembangunannya masih belum rampung. Dan kau adalah salah satu pemberi donasinya.
Aku berpikir sejenak soal kapan aku pernah melakukannya. Aku tidak ingat sama sekali. Mungkin yang ini terlupakan. Karena terlalu banyak hal yang harus kuingat sehingga hal-hal seperti ini tidak akan bertahan lama di otakku. Aku ingin melihat keluar. Terlihat bayangan bulan yang terpantul di permukaan air. Baru kutahu kalau masjid ini adalah masjid apung. Ketika aku melangkahkan kaki hendak melihat luar bangunan, masjid ini berubah rupa menjadi bangunan sempurna dan terang oleh lampu.
Tampilannya berubah. Apa ini di masa depan? Tetapi kata sosok itu, justru ini adalah masa kini. Masjid ini telah rampung dua minggu yang lalu.
Belum puas melihat-lihat sekitaran masjid, dalam sekedipan mata aku berada di tempat yang berbeda. Aku memutar badan mengumpulkan informasi. Tak lama aku terhenyak. Ini adalah kampungku di masa lalu. Waktu di mana aku merasa menjadi manusia paling bahagia karena dapat menikahi wanita yang kucintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.