KLANDESTIN - 2/5

515 55 16
                                    

Hai semua, gimana kabar hari ini?

Kira-kira hari ini Bilal bakal ngalamin apa, ya???

******

BAB 2
Bilal bin Suwarno

Aku tahu, setiap orang itu akan menjalani tahapan dalam hidupnya dan biasanya itu terjadi secara perlahan. Namun untuk ceritaku, perubahan terjadi secara signifikan. Hidupku sudah tidak normal seperti sebelumnya. Rasa capek fisik dan mental bersatu. Sampai menempatkanku di fase mempertanyakan kewarasan diri sendiri. Bagaimana tidak, selalunya dalam sehari aku bisa lima kali bolak-balik masuk-keluar masjid. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir seribu masjid yang menjadi tempatku berpindah selama hampir setahun ini. Dari semuanya, tidak ada satupun yang pernah kukunjungi secara langsung.

Sementara ini, aku menyebut apa yang kualami sebagai teleportasi. Aku bisa mengatakannya begitu sebab, secara tiba-tiba aku bisa ada di dalam masjid–yang kuyakini secara fisik aku berada di sana. Dan secara tiba-tiba juga aku kembali ke tempat semula. Tidak ada penjelasan yang dapat memuaskanku selain satu kata itu. Sulit sekali rasanya mencari informasi lainnya. Yang bisa kulakukan adalah menganalisis diriku sendiri. Juga, meyakinkan diri, aku tidak gila.

Mensugesti diri setiap pagi di depan cermin itu bukan hal mudah. Karena akan kembali dibuat sangsi. Kuceritakan beberapa kejadiannya. Hari itu aku sedang tekun mendesain konsep dari pukul sembilan pagi dan berniat melewatkan jam makan siang. Sayangnya semua berantakan. Pekerjaan belum selesai, pun makan siang juga ikut lewat. Karena siang itu  tanpa sadar aku sudah duduk diantara saf jamaah yang bersiap berdiri saat iqamat. Aku ikut bangkit, melihat perubahan tempatku berada, tanpa ragu aku kabur keluar menuju gerbang masjid. Kemudian secara ajaib kembali ke kantor, terpekur sejenak, dan beraktifitas lagi.

Tidak hanya itu, pernah ketika aku bersama tim sedang membuat konten di pantai. Ini salah satu teleportasi yang sulit dilupakan dan yang membuatku berpikir lagi tentang kesehatan jiwaku.

Aku sudah bersiap dengan perlengkapan snorkeling; snorkel; fins; life jacket, dan berjalan mundur dari tepi pantai ke dalam air laut. Tepat sebelum berenang, sekonyong-konyong aku hampir kehilangan keseimbangan karena berteleportasi. Aku ada di tempat berwudhu, yang pertama kali kuperiksa adalah pakaianku. Ternyata hanya life jacket yang masih melekat. Kepalaku masih mencerna semuanya. Setelah perasaanku membaik, segera saja aku keluar dari situ. Ketika sampai di pelataran masjid, aku sempatkan melihat nama masjidnya dan langsung saja merasakan ada kejanggalan dengan masjid ini.

Aku membacanya sekali lagi dengan seksama. Nama dan arsitekturnya seperti tidak asing bagiku. Kalau benar masjid itu yang pernah kutonton di berita, pasti akan ada bagian masjid yang ditempeli foto-foto setelah tsunami.

Aku telusuri setiap bagiannya. Tidak kubiarkan ada yang terlewat dari perhatian. Tak cukup satu kali, kukelilingi sekali lagi untuk memastikannya. Ini tidak mungkin! Aku membeliakkan mata karena tak percaya. Kalau tidak ada foto-foto itu, berarti ini adalah bangunan sebelum bencana itu terjadi? Tapi ini sudah hampir sembilan belas tahun sejak kejadian itu. Tidak masuk akal, kan?

Hari-hari setelahnya juga begitu, tiada hari tanpa masjid. Seolah tidak peduli waktu dan kondisiku sedang apa dan di mana. Selama itu pula aku tidak pernah terbiasa dengan hal itu.

Apalagi peristiwa di bar yang membuatku ingin mengoperasi wajah karena malu. Jadi saat itu aku sedang mengobrol santai dengan teman-teman lain di bar, kemudian aku mengangkat gelas minumanku yang kedua, mendadak rasanya terhempas dari kursi dan mendapati diriku bersandar di pilar masjid. Aku tidak langsung terbirit keluar. Aku butuh menghela napas dan tetap tinggal hanya sampai azan selesai berkumandang.

KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang