Bab 3
Suara dari Retnaningtyas
Aku benar-benar pergi ke surau sore itu. Bahkan sebelum azan asar terdengar—sedangkan kegiatan mengaji dilakukan bakda asar, aku sudah menjadi penunggu pertama.
Surau sudah tampak sangat tua. Namun, untuk orang-orang sepertiku, bangunan seperti inilah yang justru banyak menyimpan nilai sejarah. Ubin surau tampak kelabu dan dinding putih yang mengelilingi bangunan itu tetap berwarna putih kusam kendati dibersihkan dan dicat lagi berulang kali. Hanya karpet hijau meteran yang terlihat baru di sana.
Tak lama berselang, Mbah Muh datang. Beliau setengah terkejut mendapati kehadiranku. Kemarin kami tak sempat bertemu sebab saat aku ke rumah Mbah Muh, beliau sedang berada di surau. Kami hanya bertukar sapa seperlunya karena Mbah Muh memintaku bersiap untuk mengumandangkan azan. Aku menurut. Seiring dengan panggilan salat yang terlantun, satu per satu orang mulai berdatangan. Namun, di antara beberapa orang yang berada di sana, bahkan setelah komat, kedatangan gadis itu tak tertangkap oleh netraku.
Aku sudah mengundur kepulanganku untuk mendapat pencerahan dari rumor-rumor yang beredar. Ibu sudah dua kali menelepon, tapi kuabaikan. Karena aku tahu yang akan dia tanyakan antara kapan aku akan pulang atau bagaimana informasi terbaru dari Mas Nanang. Dan aku enggan membahasnya. Yang terpenting bagiku sekarang adalah masalah yang menyakut tentang Mbah Muh. Kalaupun rumor yang beredar benar, aku harus tahu sebanyak apa rahasia yang guru ngajiku itu sembunyikan. Kalaupun salah, setidaknya aku harus dibuat paham mengapa ada golongan orang yang tega memfitnah orang suci seperti Mbah Muh.
Untunglah, gadis itu datang. Aku tidak sadar kapan munculnya sosok itu, tapi seingatku ketika jamaah mulai bubar, ia belum tiba di surau. Barulah ketika murid-murid Mbah Muh manata dampar dan duduk rapi di belakangnya, aku tersadar jika gadis itu sudah duduk sendirian di barisan paling belakang. Tengah tadarus Qur'an. Aku berasumsi bahwa ia mungkin salah satu pengajar di sini.
Suasana sore yang dilingkupi suara orang-orang mengaji seperti ini masih persis seperti tujuh tahun lalu. Hanya saja, penghuni surau tak lagi seramai dulu. Aku masih ingat bagaimana harus berdesak-desakan dan berebut tempat duduk agar dapat meletakkan mushaf di atas dampar panjang. Namun, sekarang beberapa meja yang biasa digunakan untuk mengaji itu bahkan tersimpan rapi di pojok ruangan.
"Pakdemu bilang katanya mau pulang ke Semarang hari ini, ta, Mas. Kirain kalau Mbah Muh enggak akan sempat ketemu kamu." Mbah Muh menghampiriku setelah selesai mengajar mengaji. Beberapa muridnya memilih langsung pulang sedangkan sisanya masih tinggal di surau selagi menunggu azan magrib. Yang terpenting bagiku adalah gadis itu masih aman di tempatnya.
"Rencananya begitu, Mbah, tapi kalau belum sowan Mbah Muh kok rasanya ada yang kurang," jawabku. Biarlah berbohong sedikit. Meskipun orang yang kutunggu hampir dua jam di serambi masjid sebenarnya bukan beliau.
Mbah Muh terlihat puas dengan jawabanku. Terlihat dari senyumnya yang merekah di antara wajah teduhnya.
"Gimana kabar Bapak dan keluargamu di Semarang? Sehat-sehat, kan?"
"Alhamdulillah sehat, Mbah." Bahkan dalam perang dingin yang begitu lama, Mbah Muh masih mempertanyakan kabar Bapak. Aku tak tahu apakah itu sekadar basa-basi, tapi dibandingkan Bapak yang selalu terus terang memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Mbah Muh, respons Mbah Muh terhadap hubungan mereka jauh lebih baik. Ini yang membuatku memilih untuk menjadi pihak netral. Mencoba untuk tidak terpengaruh oleh Bapak, pun membatasi diri agar tidak seutuhnya terhasut oleh Mbah Muh.
"Sepertinya sekarang yang ngaji di sini enggak sebanyak pas saya kecil dulu, ya, Mbah?" Aku membuka percakapan. Alasan saja agar aku dapat menoleh ke dalam masjid. Memastikan gadis itu belum keluar dari surau. Mungkin dia canggung jika kami bertemu di tempat ibadah seperti ini. Tapi jika benar begitu, aku tak tahu apa yang dia pikirkan hingga sedari awal memilih tempat ini. Padahal kami bisa bertemu besok pagi saja bersamaan dia pergi ke pasar, atau bagusnya lagi, kami selesaikan diskusi itu siang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
EspiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.